Keadilan pada dasarnya adalah sebuah kualitas yang mungkin, tetapi bukan harus, dari sebuah tatanan sosial yang menuntun terciptanya hubungan timbal balik di antara sesama manusia. Baru setelah itu ia merupakan sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil bilamana prilakuya sesuai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya memang adil. Dalam kasus syeh puji yang menikahi Luthviana Ulfa 13 tahun, yang putusan dari pengadilan negeri Ungaran, kabupaten Semarang yang divonis bebas oleh hakim. Tetapi menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merupakan suatu ketidak adilan, menurut KPAI majelis hakim tidak peka mengenai perspektif perlindungan anak. Hal ini disebut oleh KPAI bahwa kepentingan anak tidak diperjuangkan melalui perwujudan keadilan.
Maka berdasarkan kasus tersebut kita dapat menganalisa mengenai tentang “keadilan”. Dari kasus di atas terlihat bahwa adil menurut syeh puji tetapi tidak adil menurut KPAI. Menurut Plato mengindentfikasikan kedilan dengan kebahagian. Kalau dilihat menurut Plato jika Lutviana merasa bahagia maka rasa keadilan itu sudah terlaksana. seseorang dikatakan sedang berusaha mendapatkan kebahagian bagi semua orang, selama ini ia (plato) mendefenisikan konsep kebahagian dalam makna yang paling dasar, makna sempit dari kebahagiaan individual, yang dimaknai dengan kebahagiaan manusia, yang sesuai dengan pemahamannya.
Menurut Jeremy Bntham jika keadilan adalah kebahagiaan, maka tidak akan ada tatanan sosial yang adil apabila keadilan dimaknai sebagai kebahagian individual. Tetapi tatanan sosial yang yang adil apabila keadilan dimaknai sebagai kebahagian individual. Tetapi tatanan sosial yang adil juga tidak mungkin tercipta bahkan seperti apa yang dianggap akan diwujudkannya, tidak untuk kebahagian tiap individu, tetapi kebahagiaan yang paling mungkin tercipta bagi sebanyak mungkin individu.
Plato mendukung pendapat bahwa seseorang manusia yang adil-yang artinya dalam hal ini orang yang mematuhi hukum-dan hanya oran yang adil, yang bahagia; sementara orang yang tidak adil-orang yang menodai hukuman-adalah tidak bahagia. Plato mengatakan “hidup yang paling adil adalah yang paling menyenangkan” akan tetapi Plato mengakui bahwa barangkali dalam satu kasus atau kasus lainnya orang yang adil bisa jadi tidak bahagia dan orang yang tidak adil malah bahagia.
Dalam kasus syech puji dalam melakukan perkawinan dengan anak dibawah umur merupakan suatu hal yang biasa, dikarenakan syech puji melakukannya pernikahan dengan syariat agama. Jika dikaitkan dengan norma sebagai skema penafsiran dimana yang menjadikan kejadian ini sebagai tindakan legal dan ilegal bukanlah eksitensi fisiknya, yang ditentukan oleh hukum sebab-akibat yang ada dialam, melainkan makna objektif yang muncul dari penafsiran terhadapnya. Ini jika dikaitkan dengan kasus syech puji terlihat bahwa makna subjektifnya adalah syech puji menikahi Lutviana agar tidak terjadi perzinaan. Makna objektifnya adalah tindakan ini dilarang undang-undang karena masih dibawah umur di tambah lagi dengan pernikahan dibawah tangan dan tidak tercatat di KUA. Ditarik dari kesimpulan dari norma sebagai skema penafsiran pertimbangan dari suatu tindakan prilaku manusia yang dilakukan dalam waktu dan tempat yang yakni yang legal atau tidak legal merupakan hasil dari penafsiran norma yang khusus. Norma yang memberikan makna legalitas dan ilegalitas kepada suatu tindakan itu sendiri tercipta oleh suatu tindakan yang pada gilirannya menerima karakter legalnya dari norma yang lain lagi. Ini maksudnya syech puji merasa bena karena telah sesuai dengan syariat islam tetapi legalisasi menurut hukum positif yang berlaku tidak benar.
Norma dan penciptaan norma adalah sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi, khususnya manusia seharusnya berprilaku dengan cara tertentu. Ini merupakan makna dari tindakan manusia yang satu diarahkan kepada prilaku manusia lainnya. Dalam pengertian ini tindakan yang maknanya adalah sebuah norma merupakan tindakan yang berkehendak. Jika seorang individu dengan tindakan mengungkapkan kehendak yang ditujukan pada prilaku tertentu orang lain, dengan kata lain jika dia memerintahkan, mengijinkan atau menguasakan prilaku tersebut-maka makna dari tindakannya tidak bisa dijelaskan dengan pernyataan bahwa individu lain akan berperilaku seperti itu, namun ia seharus berperilaku seperti itu. Pernikahaan untuk anak dibawah umur sekarang sudah jarang terjadi ditambah dengan adanya UU perkawinan dan UU perlindungan anak. Hal ini maka pemerintah melarang kepada setiap warganya untuk tidak menikahi anak yang masih bersekolah khususnya dalam kasus syech puji.
Jika suatu norma menetapkan bahwa prilaku tertentu “seharusnya” dilakukan, dalam arti “memerintahkan” perilaku itu, maka perilaku aktualnya boleh jadi sesuai atau tidak sesuai dengan norma tersebut. Seperti halnya dengan seyech puji dalam peraturan perkawinan dan perlindungan anak menyatakan bahwa dilarang menikahi anak dibawah umur. Hal ini membuat bahwa prilaku yang menikahi anak dibawah umur ini yang menjadi persoalan. Fakta bawa penilaian dari perbuatan menikahi anak di bawah umur berbeda-beda dari setiap individu. Khususnya sistem moral dan ide sentral dari keadilan, merupakan fenomena sosial, produk dari masyarakat, dan oleh sebab itu berbeda-beda menurut nilai-nilai itu muncul dari masyarakat. Bahwa banyak individu yang setuju bersepakat dalam hal penilaian terhadap nilai tidak membuktikan bahwa penilaian seperti itu benar, atau dikatakan sahih dalam pemahaman subjektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar