Selasa, 24 April 2012

Paten terhadap makhluk hidup


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
            Salah satu perkembangan yang menonjol dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini adalah semakin meluasnya arus globalisasi yang berlangsung baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Dalam dunia perdagangan, terutama karena perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan-kegiatan dalam sektor ini meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecendrungan seperti itu, maka menjadi hal yang dapat dipahami bila adanya tuntutan kebutuhan bagi pengaturan dalam rangka perlindungan hukum yang lebih memadai. Apalagi beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektual manusia, seperti penelitian yang menghasilkan penemuan di bidang teknologi.
            Dalam kerangka perjanjian multilateral GATT (saat ini menjadi WTO), pada bulan April 1994 di Marakesh, Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay, yang dikenal dengan Uruguay Round antara lain memuat persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs). Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual secara ketat.
            Sebagai salah satu negara yang telah menandatangani persetujuan Putaran Uruguay, Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization). Persetujuan ini tentunya mendukung kegiatan pembangunan nasional, terutama sejak  tahun 1989, Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang Paten nasional. Namun demikian kita belum mengetahui manfaat UU ini bagi dunia bisnis di Indonesia.


Tinjauan masalah
1.      Apa-apa sajakah yang dapat menjadi objek paten?
2.      Dapatkah makhluk hidup menjadi objek dari paten?


BAB II
TINJAUAN UMUM

A.Sejarah Perkembangan Pengaturan Hak Paten
Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu halyang baru diIndonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual yang sebenarnyamerupakan peraturan pemberlakuan undang-undang pemerintahan Hindia-Belanda yang berlaku dinegeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi.
            Pada masa itu,bidang hak kekayaan intelektual mendapat pengakuan baru di 3 (tiga) bidanghak kekayaan intelektual, yaitu bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan industri, serta Paten.
Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut[1]
1.      Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta;S.1912-600).
2.      Reglement Industriele Eigendom kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912 jo.S.1913-214).
3.      Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S.1922-54).

      Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada saatitu adalah bersifat pluralistis sesuai dengan golongan penduduknya, sehingga ada peraturan perundang-undangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputera (Indonesia), ada pula peraturan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang Bumiputera (Indonesia). Peraturan perundang-undangan Eropa dibidang Hak Kekayaan Intelektualyang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo.S.1913-214), Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912,Undang-Undang Hak Cipta, S.1912-600) danOctrooiwet1910 (Undang-UndangPaten 1910; S.1910-33, yis s.1911-33, S.1922-54), merupakan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk golonganbukan Eropa. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual merupakan peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi semua golongan penduduk Indonesia.
            SetelahIndonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945,maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demihukum diteruskan keberlakuannyasampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produksi legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada Pahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1982, dan Undang-Undang Paten Tahun 1989.
Lahirnya perundangan mengenai paten tidak lepas dari kepentingan perdagangan (ekonomi). Peraturan paten Venesia tahun 1474 memuat aturan yang mewajibkan penemu untuk mendaftarkan penemuannya dan orang lain dilarang meniru atau memproduksinya selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tanpa izin.
            Hak paten atau hak oktroi telah diadakan sejak abad ke-14 dan ke-15, misalnya di Italia dan Inggris. Akan tetapi, sifat pemberian hak tersebut pada waktu itu tidak/ bukan ditujukan atas suatu pendapatan (uitvinding), namun lebih diutamakan untuk menarik para ahli dari luar negeri. Maksudnya, agar para ahli menetap di negara-negara yang mengundangnya untuk mengembangkan keahliannya masing-masing di negara pengundang dan bertujuan untuk kemajuan warga/penduduk dari negara yang bersangkutan. Jadi oktroi itu bersifat sebagai semacam “izin menetap”. Namun demikian memanglah kehadiran inventor tadi di negeri yang baru didasarkan atas keahliannya dalam bidang tertentu, karena itu ia boleh tinggal menetap. Jadi ada juga kesamaannya dengan penggunaan istilah paten dewasa ini. Royaltinya ketika itu ia boleh tinggal di negara dengan perlakuan khusus, karena ia dapat memberikan kontribusi positip bagi kemajuan rakyat di negeri tersebut.
Baru pada abad ke-16, diadakan peraturan pemberian hak paten/oktroi bagi hasil-hasil pendapatan (uitvinding), yaitu negara-negara Venesia, Inggris, Belanda, Jerman, Austria, dan lain-lain negara. Hak paten atau hak oktroi itu bersifat semacam “izin menetap”. Jadi, berbeda dengan pemakain pengertian materil istilah itu pada dewasa ini.
            Kemudian melalui perkembangan waktu dan kemajuan teknologi, terutama pada abad ke-20, sifat pemberian paten/oktroi bukan lagi sebagai hadiah, melainkan pemberian hak atas suatu temuan yang diperolehnya. Perkembangan semacam itu terjadi di negara-negara Amerika Utara dan Amerika Selatan. Kemudian di negara Amerika Serikat terbentuk undang-undang paten yang tegas mengubah sifat pemberian hak paten/oktroi itu. Lalu diikuti oleh negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda dan Rusia. Kini pada abad ke-20 peraturan perundangan lembaga paten hampir meliputi semua negara termasuk kawasan asia.
            Kalau dilihat dari perkembangan pengaturan peraturan perundang-undangan paten itu, Inggris mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang paten di banyak negara di dunia. Sebab, di negara Inggris pertumbuhan hak paten sangat baik sekali. Kemungkinan pengaruh itu sebagai akibat kedudukan Inggris sebagai negara induk penjajah sampai pada abad pertengahan abad ke-20 dan satu dua abad sebelumnya, mempunyai banyak tanah jajahan yang membawa pengaruh hukum pula kepada wilayah kolonial tersebut.
Sebagaimana diketahui, undang-undang yang ada yaitu Octrooiwet 1910 S Nomor 33 yis S 11-136, S 22-54 mulai berlaku 1912 telah dinyatakan tidak berlaku oleh pihak yang berwajib, karena ketentuan-ketentuan dan pengaturan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dirasakan tidak serasi dengan suasana Negara merdeka. Ketentuan menurut peraturan tersebut bahwa permintaan octrooi di wilayah Indonesia diajukan melalui Kantor Pembantu di Jakarta yang selanjutnya diteruskan ke Octrooiraad di negera Belanda. Terang keadaan ini tidak dapat diterima/dipertahankan karena akan bertentangan dengan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang merdeka. Sementara itu, Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui pengumumannya tanggal 12 Agustus 1953 Nomor J.S.5/41/4 B.N.55 memberikan upaya yang bersifat sementara, yaitu berupa permohonan sementara pendaftaran octrooi mulai tanggal 1 November 1953.
Akan tetapi, keadaan yang bersifat sementara itu tetap berlaku sampai sekarang dan belum ada peraturan yang bersifat defenitif positip. Karena tetap dalam keadaan berlarut-larut, lebih dari 23 tahun sifat “kesementaraannya” maka sudah tiba waktunya untuk tidak menunda-nunda lagi dikeluarkannya peraturan perundang-undangan octrooi atau Paten Nasional yang bersifat modern. Artinya, disesuaikan dengan keadaan perkembangan pembangunan yang nyata.
Pengaruh perkembangan teknologi sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari dan dalam beberapa dasawarsa akhir-akhir ini, perkembangan tersebut sangat pesat. Perkembangan itu tidak hanya di bidang teknologi tinggi seperti komputer, elektronika, dan bioteknologi, tetapi juga di bidang mekanik, kimia atau lainnya. Bahkan, sejalan dengan itu, makin tinggi pula kesadaran masyarakat untuk meningkatkan pendayagunaan teknologi yang sederhana.
Bagi Indonesia, sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, pentingnya peranan teknologi merupakan hal yang tidak terbantah. Namun, perkembangan teknologi tersebut belum mencapai sasaran yang diinginkan. Hal ini diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (sekarang program pembangunan jangka panjang), dimana pengembangan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam rangka menghadapi persaingan global. Untuk meningkatkan perkembangan teknologi, diperlukan adanya suatu sistem yang dapat merangsang perkembangan teknologi dalam wujud perlindungan terhadap karya intelektual, termasuk paten yang sepadan.
Dalam kaitan itu, Indonesia telah memiliki undang-undang paten, yaitu Undang-Undang No.6 tahun 1989 Tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39) jo Undang-Undang No.13 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Undang-Undang Paten- lama), dan pelaksanaan paten telah berjalan, dipandang perlu melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Paten- lama. Disamping itu, masih ada beberapa aspek dalam Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut persetujuan TRIPs) yang belum ditampung dalam Undang-Undang Paten tersebut. Seperti diketahui, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the world trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) selanjutnya disebut World Trade Organization (lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57) dan persetujuan TRIPs merupakan salah satu lampiran dari perjanjian ini. Oleh sebab itu maka Undang-Undang Paten-Lama diubah ke Undang-Undang N0.14 Tahun 2001 Tentang Paten.
Mengingatlingkup perubahan serta untuk memudahkan penggunaannyaoleh masyarakat, Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 disusun secaramenyeluruh dalamsuatu naskah (single teks) pengganti Undang-undang Paten-Lama. Dalamhal ini, ketentuan dalam Undang-undang Paten lama yang substansinya tidak diubah dituangkan kembali dalam undang-undang ini[2].

B. Pengertian Paten dan jenis Paten yang Dikenal Saat Ini
Pengertian Paten
            Paten adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, yang termasuk dalam kategori hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Right)[3]. Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Secara juridis pengertian benda merupakan sesuatu yang dapat menjadi objek hak, sedangkan yang dapat menjadi objek hak itu tidak hanya benda berwujud tetapi juga benda tidak berwujud. Istilah Paten berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata Auctor yang berarti dibuka, bahwa suatu penemuan yang mendapat paten menjadi terbuka untuk diketahui oleh umum. Di beberapa negara, istilah yang diberikan kepada Paten berbeda-beda, walaupun pada dasarnya pengertiannya sama. Seperti di Indonesia dikenal dengan istilah Paten dan Oktroi, dalam bahasa Inggris dikenal dengan Patent, dan bahasa Belanda dikenal dengan Octrooi. Ketiga istilah ini diartikan sebagai suatu hak khusus berdasarkan undang-undang yang diberikan kepada si pendapat atau pencipta (uitvider) atau menurut hukum pihak yang berhak memperolehnya (derechtverkrijgende) atas permintaannya yang diajukan kepada pihak penguasa, bagi pendapatan baru, perbaikan atas pendapatan yang sudah ada, cara bekerja baru atau menciptakan suatu perbaikan baru dari cara bekerja, untuk selama jangja waktu tertentu.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Paten berasal dari bahasa Eropa (Paten/Oktroi) yang berarti suatu surat perniagaan atau izin dari pemerintah yang menyatakan bahwaorang atau perusahaan bolehmembuat barang hasilpendapatannya sendiri (orang lain tidak bolehmembuatnya)[4]
Paten dalam Undang-Undang paten No.14 Tahun 2001 dirumuskan sebagaiberikut ”paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”[5] Hak itu disebut bersifat eksklusif, karena hanyainventor yang menghasilkan invensi sajayang dapat diberikan hak, namun ia dapat melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberi persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang sebagai haknya, yaitu berupa ide yang lahir dari penemuan tersebut. Jadi bukan hasil dalam bentuk produk materil, bukan bendanya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan itu adalah idenya, maka pelaksanaan dari ide itu yang kemudian membuahkan hasildalam bentuk benda materil. Ide itu sendiri merupakan benda immaterial yang lahir dari proses intelektual manusia.
            Oleh karenaitu, dapat disimpulkan bahwa paten diberikan bagi invensi dibidang teknologi dan teknologi yang pada dasarnya adalah berupa ide (immateril) yang dapat diterapkan dalam proses industri.
            Dalam pemberian hak eksklusif, salah satu halyang sangat perludiperhatikanadalah invensinya.Karena ide yangadadalam invensiinilah yangdiberikan hak eksklusif terhadap inventor.
Objek dan Subjek paten
            Apabila kita berbicara tentang objek, maka itu tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang benda. Jika hal ini kita kaitkan dengan paten, maka objek tersebut adalah suatu tak berwujud, oleh karena paten itu adalah benda tak berwujud yang merupakan bagian dari hak atas kekayaan perindustrian[6].    
            Mengenai subjek paten pasal 10 undang-undang paten no 14 tahun 2001 menyebutkan:
1.      Yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan.
2.      Jika satu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama hak atas invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.
            Dalam pasal 11 undang-undang no 14 tahun 2001 disebutkan: “kecuali  terbukti lain, yang dianggap sebagai inventor adalah seseorang atau beberapa orang yang pertama kali dinyatakan sebagai inventor dalam permohonan.
            Subjek paten atau orang yang berhak memiliki hak paten adalah individu, maupun kelompok individu. Dalam konteks kelompok individu, hak paten dimiliki bersama-sama, kecuali diperjanjikan lain oleh para pihak. Artinya jika terdapat perjanjian antar individu tersebut untuk memberikan hak paten kepada salah satu atau beberapa dari kelompok tersebut untuk memiliki hak paten, maka hak tersebut menjadi milik orang yang dipersetuji sebelumnya berdasarkan suatu perjanjian.
            Dalam hal suatu penemuan merupakan suatu penemuan yang dilakukan oleh sebuah Tim dari institusi tertentu, maka hak tersebut menjadi milik institusinya, kecuali diperjanjikan lain. Prinsip lain yang penting untuk dikemukakan adalah, jika suatu penemuan merupakan hasil kerja seserang atau kelompok yang sebelumnya menerima pekerjaan dari orang lain atau institusi lain, maka hak paten atas penemuan tersebut merupakan milik pihak yang memberi pekerjaan, kecuali diperjanjikan sebelumnya.
            Paten merupakan hak yang akan diberikan, jika adanya permohonan si penemu kepada institusi berwenang, di Indonesia melalui Dirjen HAKI Dephuk dan Ham. Permohonan tersebut memerlukan proses formalisasi, termasuk memerlukan biaya permohonan. Bahkan jika hak paten tersebut tealh didaftarkan, maka pemegang hak harus membayar iuran tahunan, setiap tahun selama 20 tahun sesuai durasi hak paten yang diberikan kepadanya.
            Selain melalui permohonan yang dilakukan oleh si pemohon hak paten, pemerintah juga memiliki kewenangan untuk mendaftarkan ak paten tersebut. Pemerintah dapat mengambil inisiatif ini jika beranggapan bahwa hak tersebut urgen dan mendesak untuk dipetenkan. Pematenan penemuan tersebut biasa dilakukan dalam kaitan penemuan yang menyangkut kepentingan negara, seperti produk pertahanan dan keamanan.
            Pematenan yang dilakukan oleh pemerintah tetap mencamtumkan nama pemegang paten, tanggal penemuan dan sebagainya sebagaimana kewajiban pendaftaran hak tersebut oleh individu, maupun institusi non-pemerintah. Namun demikian ada hal yang istimewa jika hak paten tersebut didaftarkan oleh pemerintah, yaitu pemegang hak akan diberikan intensif oleh pemerintah.
Paten terhadap Makhluk hidup
            Paten adalah pemerintah memberikan jaminan bahwa penemu dengan hak eksklusif untuk menggunakan, menjual atau memproduksi sebuah penemuan untuk jangka waktu tertentu. A patent is usually granted for 20 years. Paten biasanya diberikan selama 20 tahun.  Patents should be granted only to human inventions, not discoveries.Paten harus diberikan hanya untuk penemuan manusia, bukan penemuan. Existing living organisms - plants and animals as well as their genes - are no-one's invention and should therefore never be patented and put under private control. Ada makhluk hidup - tumbuhan dan hewan serta gen mereka - tidak ada penemuan dan karena itu seharusnya tidak pernah dipatenkan dan diletakkan di bawah kendali swasta. However, over the past decades patents on plants and animals as well as genes and parts of human bodies have been repeatedly granted by the patent offices of industrialised countries.Namun, selama dekade terakhir paten pada tanaman dan hewan serta gen dan bagian tubuh manusia telah berulang kali diberikan oleh kantor paten dari negara-negara industri.
Patenting of GE organisms allows industry to take control of and exploit common organisms and genetic material as exclusive private property that can be sold to or withheld from farmers, breeders, scientists and doctors.            Mematenkan organisme memungkinkan industri untuk mengendalikan dan memanfaatkan organisme umum dan materi genetik sebagai milik pribadi eksklusif yang dapat dijual atau dipotong dari petani, peternak, ilmuwan dan dokter. Technology agreements and fees on seeds, facilitated by patents, deprive farmers of their generations-old right to freely replant and exchange their seeds. perjanjian Teknologi dan biaya pada bibit, difasilitasi oleh hak paten, menghilangkan petani dari hak mereka generasi-tua untuk menanam kembali dan pertukaran bebas benih mereka.
            Sampai saat ini, tidak mungkin bagi organisme hidup paten, yang selalu dianggap sebagai penemuan alam dan karenanya unpatentable. In 1980, however, this all changed. Pada tahun 1980, bagaimanapun, ini semua berubah. In the landmark case of Diamond versus Chakrabarty, the US Supreme Court ruled that a living organism, a bacterium that could digest oil, could be patented. Dalam kasus tengara dari Diamond versus Chakrabarty, Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa sebuah organisme hidup, bakteri yang bisa mencerna minyak, bisa dipatenkan[7].
            Chief Justice Warren Burger declared that the "relevant distinction is not between animate and inanimate things but whether living products could be seen as human-made inventions". Chief Justice Warren Burger menyatakan bahwa perbedaan "yang relevan tidak antara hidup dan mati hal tapi apakah hidup produk bisa dilihat sebagai penemuan buatan manusia". This extraordinary decision by the US Supreme Court heralded a new era in which living organisms could be patented, and paved the way for the enclosure of the biological commons. Keputusan ini luar biasa oleh Mahkamah Agung AS digembar-gemborkan era baru di mana organisme hidup bisa dipatenkan, dan membuka jalan bagi kandang milik bersama biologis.
Once a shared heritage, the gene pool of plants, animals and humans was now a commodity waiting to be bought and sold.            Setelah warisan bersama, kolam gen tanaman, hewan dan manusia sekarang menjadi komoditas menunggu untuk dibeli dan dijual.
Paten yang pernah diberikan kepada makhluk hidup
·      Patents on animal life: In 1988, a Harvard University biologist was granted a patent for a mouse that had been engineered for increased susceptibility to cancer. Paten pada kehidupan hewan: Pada tahun 1988, seorang ahli biologi Universitas Harvard diberi paten untuk tikus yang telah direkayasa untuk kerentanan meningkat menjadi kanker. The “Harvard Oncomouse” became the first animal to be considered an invention by the US Patent and Trademark Office. The "Harvard Oncomouse" menjadi binatang pertama yang dianggap penemuan oleh US Patent dan Trademark Office. It established a precedent within patent procedures for patenting genetically modified animals. Ini membentuk preseden dalam prosedur paten untuk mematenkan hewan rekayasa genetika. Although this research was intended to benefit human health, the question remains about the ethics of patenting complex living beings. Meskipun penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan manfaat kesehatan manusia, tetap pertanyaan tentang etika paten makhluk hidup yang kompleks. The US Congress has never explicitly addressed the question of whether animal genes and cells can be corporate property. Kongres AS tidak pernah secara eksplisit membahas pertanyaan apakah hewan gen dan sel dapat harta perusahaan[8].
·      Paten pada kehidupan manusia: Sebuah mengkhawatirkan sebagian besar aspek kehidupan adalah paten mematenkan gen manusia, jalur sel dan jaringan. Corporate patent attorneys have lobbied the Patent office that these “products of nature” are patentable once they have been isolated to produce a form not found outside of a laboratory. pengacara paten Perusahaan telah melobi kantor Paten bahwa "produk alam" yang dipatenkan setelah mereka telah diisolasi untuk menghasilkan bentuk yang tidak ditemukan di luar laboratorium. For example, in 1976 a leukemia patient named John Moore had surgery at the University of California to remove his cancerous spleen. Sebagai contoh, pada tahun 1976 seorang pasien leukemia bernama John Moore menjalani operasi di University of California untuk menghapus limpa kanker nya. The University was later granted a patent for a cell line called “Mo,” removed from the spleen, which could be used for producing valuable proteins. Universitas kemudian diberi paten untuk sebuah baris sel yang disebut "Mo," dihapus dari limpa, yang dapat digunakan untuk memproduksi protein yang berharga. The long term commercial value of the cell line was estimated at over one billion dollars. Nilai komersial jangka panjang dari garis sel diperkirakan lebih dari satu miliar dolar. Mr. Moore demanded the return of the cells and control over his body parts, but the California Supreme Court decided that he was not entitled to any rights to his own cells after they had been removed from his body. Mr Moore menuntut kembalinya sel dan kontrol atas bagian-bagian tubuhnya, namun Pengadilan Tinggi California memutuskan bahwa ia tidak berhak atas hak untuk sel sendiri setelah mereka telah disingkirkan dari tubuhnya[9].
·      Paten pada tanaman pangan: petani dan konsumen di seluruh Amerika abad ini telah berjuang melawan masuknya tanaman pangan di bawah undang-undang paten. Corporate control over plant varieties themselves has been regarded as contrary to the interests of the general population. kontrol Perusahaan atas varietas tanaman sendiri telah dianggap sebagai bertentangan dengan kepentingan masyarakat umum. Patenting plant life will also intensify the inequality between the developing and industrialized nations. Paten tanaman hidup juga akan mengintensifkan ketimpangan antara negara berkembang dan industri. The open exchange of seeds and plant material over the centuries has given the US and Europe potatoes and tomatoes from Latin America, soybeans from China, and wheat, rye and barley from the Middle East, to name but a few. Pertukaran terbuka bibit dan bahan tanaman selama berabad-abad telah diberikan AS dan Eropa kentang dan tomat dari Amerika Latin, kedelai dari Cina, dan gandum, rye dan barley dari Timur Tengah, untuk menyebutkan beberapa. The developing world has never received compensation or recognition for these intellectual and technological contributions. Negara berkembang telah pernah menerima kompensasi atau pengakuan atas kontribusi intelektual dan teknologi. Patenting plant life will exacerbate this inequality. paten tanaman hidup akan memperburuk kesenjangan ini. While centuries of innovation by indigenous farmers have created most of the food crops grown today, the tinkering by agribusiness entitles them to claim a plant as their own invention, and receive all profits from its use. Sementara abad inovasi oleh petani adat telah menciptakan sebagian besar tanaman pangan tumbuh hari ini, bermain-main dengan agribisnis hak mereka untuk mengklaim tanaman sebagai penemuan mereka sendiri, dan menerima semua keuntungan dari penggunaannya. This “biocolonialism” will continue the pattern of a few transnational corporations profiting at the expense of large numbers of indigenous farmers. Biocolonialism ini "" akan terus pola dari beberapa perusahaan transnasional keuntungan dengan mengorbankan banyak petani pribumi[10].

Penolakan terhadap paten makhluk hidup
            Gen atau sel yang dipatenkan tidak akan berfungsi tanpa adanya mikroorganisme atau organisme. Dengan demikian pematenan gen otomatis akan diikuti dengan pematenan organisma yang disusupi gen tersebut. Sehingga pada akhirnya, paten juga terjadi atas (benih) tanaman atau hewan.
            Selain itu gen atau sel yang direkayasa dalam organisme tertentu sangat mungkin mengalami mutasi ketika diaplikasikan dalam lingkungan yang tidak relevan, sehingga keaslian gen yang dipatenkan itu sendiri menjadi berubah tidak seperti ketika awal dipatenkan. Ketidakstabilan sifat dan ketidakpastian keamanan gen inilah yang juga berpotensi membahayakan organisma lain atau ling-kungan ketika diaplikasikan. Dalam kerangka ini juga semestinya produk rekayasa genetika juga harus ditolak, karena tidak dapat memberikan kepastian keamanan yang memuaskan.
            Sementara, pembedaan antara ‘proses biologi yang esensial’ dengan ‘proses mikrobiologi’ atau ‘proses non-biologi’ tidak memiliki dasar yang ilmiah. Tidak dapat
dikatakan bahwa proses mikrobiologi sebagai ‘sesuatu atau benda (mati)’ karena pada hakekatnya dia adalah (proses) biologi (hidup). Maka proses mikrobiologi semestinya juga tidak dapat dipatenkan.
  
BAB III
KESIMPULAN
           
              Paten mempunyai objek terhadap temuan atau invensi (uitvinding) atau juga disebut sebagai invention dalam bidang teknologi yang secara praktis dapat dipergunakan dalam bidang perindustrian. Pengertian industri disini bukan saja terhadap industri tertentu akan tetapi dalam arti seluas-luasnya termasuk didalamnya hasil perkembangan teknologi dalam bidang pertanian, industri bidang teknologi peternakan, dan bahkan bidang teknologi pendidikan.
            Selain argumentasi ‘ilmiah’ sebagaimana diuraikan diatas, beberapa prinsip lain terhadap penolakan pematenan atas makhluk hidup adalah:
Pertama, pelanggaran etika dan moral. Secara mendasar bahwa makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan yang khas. Perubahan atasnya hanya dapat terjadi secara alamiah melalui proses evolusi ribuan bahkan jutaan tahun. Maka segala bentuk rekayasa atau
intervensi yang merubah bentuk makhluk hidup secara revolusioner (tidak alamiah) dan berbeda secara esensial dari aslinya, adalah tindakan melawan hukum alam atau penging-karan atas ciptaan. Secara moral dan etika komodifikasi kehidupan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, adanya upaya privatisasi penemuan atau penciptaan yang bersifat publik. Ada banyak penciptaan khususnya di negara berkembang menjadi milik publik. Dalam konteks ini pematenan merupakan proses mengambil keuntungan pribadi/kelompok (egois) atas keuntungan atau manfaat publik. Dan kecenderungan paten adalah privatisasi atau pengakuan penciptaan individu dan mengerosi kepemilikan publik. Dalam hal ini menjadi sangat bermasalah ketika penciptaan publik yang menyangkut manfaat dan kehidupan orang banyak digeser menjadi manfaat atau keuntungan individu. Hal ini bertentangan dengan asas kesejahteraan sosial.
Ketiga, pematenan atas makhluk hidup mendorong munculnya perampokan hayati (biopiracy). Paten merupakan konsep modern yang diintroduksikan oleh negara maju yang dalam prakteknya memberikan aksesibilitas yang luas terhadap setiap negara untuk meman-faatkan potensi sumberdaya alam. Maka, ketidak pahaman masyarakat lokal akan paten memberikan peluang bagi industri atau swasta asing melakukan pematenan atas berbagai macam pengetahuan tradisional yang ada maupun beragam hayati yang ada. Konsekuensinya pematenan atas mahkluk hidup akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup. Dengan kata lain, mengadopsi paten atas makhluk hidup berarti membiarkan kejahatan dan ketidakadilan sosial.




                [1] Adrian Sutendi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 63
                [2] Rachmad Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2003, hal. 197.
                [3] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal 13-14.
                [4] W.J.S. Poerwardiminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 1012.
                [5] Lihat Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten
                [6] O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Internasional, PT Raja Grafindo, 2000, hal, 230.
                [7] http://www.greenpeace.org/international/campaigns/genetic-engineering/ge-agriculture-and-genetic-pol/patents-on-life di akses tanggal 20 juni 2010 jam 17.00 wib.
                [8] http://www.actionbioscience.org/genomic/crg.html tanggal 20 juni 2010 jam 17.00 wib.
                [9] Ibid.
                [10] Ibid.

“Fungsi Penasehat Hukum Dalam Melindungi Hak-Hak Tersangka”


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara benar (Good Governance) yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan asas kepastian hukum. Cita-cita tersebut terdapat dalam penjelasan UUD 1945 yang secara jelas memaparkan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penjelasan UUD 1945 juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kepada hukum dan bukan berdasarkan kepada kekuasaan belaka. Terciptanya hukum yang baik dan terpadu tentu tidak akan dapat tercapai dengan begitu saja. Harus dibutuhkan suatu sistem hukum yang memang dapat menjawab dan menjadi alat untuk mencapai cita–cita bangsa tersebut.
            Indonesia sebagai sebuah negara hukum harus selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia[1] (selanjutnya disingkat dengan HAM) dalam segala bentuk. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh negara sebagai bentuk perlindungan terhadap HAM adalah dengan memberi jaminan dan perlindungan agar setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dengan tidak ada kecualinya. Adanya jaminan dan perlindungan tersebut memberikan petunjuk akan pentingnya bantuan hukum guna menjamin agar setiap orang dapat terlindungi hak-haknya dari tindakan hukum yang diskriminatif sehingga apa yang menjadi tujuan negara untuk menciptakan persamaan dihadapan hukum, dapat terlaksana karena berjalannya fungsi dari bantuan hukum tersebut[2].
            Hukum acara pidana sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam proses peradilan lahir pada tanggal 31 desember 1981. saat itu masyarakat dan semua kalangan menyambutnya dengan suka cita karena KUHAP dianggap sebagai karya agung yang menjunjung tinggi dan menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perlindungan terhadap Harkat dan martabat manusia sebagaimana layaknya yang dimiliki oleh suatu negara yang berdasarkan atas hukum. tentunya dengan lahirnya KUHAP banyak sekali harapan yang timbul dari berbagai kalangan.
            Setelah beberapa tahun dilaksanakan tentunya akan timbul pertanyaan mengenai praktek pelaksaan KUHAP dewasa ini, apakah penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan adakah jaminan perlindungan hukum terhadap setiap orang yang memasuki sistem peradilan pidana mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun di lembaga pemasyarakatan. Hak asasi manusia merupakan keinsyafan terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaan yang menjadi kodrat sejak manusia lahir dimujka bumi. Sejarah hak asasi manusia bersamaan dengan sejarah lahirnya manusia yang timbul dan tenggelam sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertainya
            Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan kehidupan yang adil serta melindungi hak asasi manusia, dimana bantuan hukum yang diberikan bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal tersangkut masalah hukum guna menghindari dari segala macam tindakan-tindakan yang dapat membahayakannya atau tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Tanpa adanya bantuan hukum yang serius dari pihak-pihak yang memahami liku-liku hukum, orang-orang miskin akan terdiskriminasi dihadapan hukum, bantuan hukum akan mambantu mereka yang miskin itu untuk bisa ”berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan golongan-golongan lain yang mampu dihadapan hukum. Bantuan hukum pun akan memulihkan kepercayaan mereka yang berada dilapisan bawah itu kepada hukum, karena dengan bantuan hukum itu mereka akan didengar dan ditanggapi oleh hukum dan para penegaknya[3].
            Bantuan hukum pada dasarnya sangat dibutuhkan pada setiap tingkat pemeriksaan, terlebih terhadap terpidana yang sering sekali terabaikan hak-haknya, sering kali terpidana tidak mengetahui akan hak-hak nya hal ini dikarenakan hak-hak yang telah diatur oleh hukum tersebut tidak dilaksanakan dengan baik oleh pelaksananya karena tidak sengaja tidak dilakukan ataupun karena si terpidana tidak mengetahui akan adanya hak-hak tersebut[4]. Oleh karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan hak-hak tersangka maka saya memberi judul tulisan saya yaitu “Fungsi Penasehat Hukum Dalam Melindungi Hak-Hak Tersangka”

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah fungsi dari penasehat hukum dalam melindungi hak-hak tersangka?
2. Bagaimanakah kaitan fungsi penasehat hukum dengan sistem peradilan pidana?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Bagaimanakah Fungsi Dari Penasehat Hukum Dalam Melindungi Hak-Hak        Tersangka
            Sebelum masuk kedalam pembahasan sebaiknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai bantuan hukum. Pada masa lalu baik pada zaman penjajahan masyarakat sudah mengenal advokat dan pokrol. Demikian juga pada tahun 50an sampai sebelum G-30-S PKI, masyarakat masyarakat mengenal advokat dan pokrol yang sehari-hari berkembang menjadi “pengacara” atau “pembela”, yakni mereka yang bergerak di bidang pemberian jasa hukum sebagai profesi dan mata pencarian. Pengacara atau pembela dalam kenyataan dan dalam pengertian masyarakat adalah pemberi bantuan hukum bagi orang yang memerlukanya dengan imbalan jasa sebagai prestasi. Sifatnya lebih mirip bisnis dan komersial. Sehingga bantuan hukum yang didapat dari pengacara, pembela, advokat seperti sebuah komediti barang mewah yang hanya dapat dijangkau oleh kalangan berduit[5].
            Polemik mengenai kinerja polisi yang mengutamakan non-scientific investigation ini seolah menjadi akar budaya pola pemeriksaan bagi polisi yang menemui jalan buntu[6]. Yang lebih banyak menggunakan segala bentuk intimidasi, ancaman, kekerasan fisik maupun psikologis terhadap sesorang tersangka untuk memperoleh keterangan. Sehinga dibutuhkan bantuan hukum dalam membela hak-hak tersangka. Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasihat hukum. Sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya dimuka pengadilan[7].
            Bantuan hukum amat perlu bagi tersangka, dalam jurnal hukum online yang dipetik bila penyidik, jaksa, atau hakim mengabaikan hak tersangka mendapatkan bantuan hukum, akibatnya bisa fatal. Dalam kaitan itu, Hakim Agung Artidjo Alkostar menyarankan perlunya dibuat mekanisme bagi hakim untuk mengecek apakah tersangka/terdakwa sudah mendapatkan bantuan hukum yang layak atau belum. Mekanisme itu penting lantaran hakim tidak melihat secara langsung BAP disusun dan bagaimana penyidik mendapatkan pengakuan dari tersangka/terdakwa. Faktanya, banyak pengakuan dari terdakwa di persidangan bahwa mereka ditekan selama proses penyidikan, bahkan ada yang mengaku disiksa[8].
            Bantuan hukum juga menjadi jaminan perlindungan HAM yang terdapat dalam KUHAP dapat dilihat dari adanya 10 asas yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap HAM, antara lain sebagai berikut:
  1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan
  2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang
  3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut ataupun dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap.
  4. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabklan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi
  5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen pada semua tingkat peradilan
  6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memeproleh bantuan hukum yang semata-mata ditujukan untuk melaksanakan kepentingan pembelaaan atas dirinya
  7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukannya penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum
  8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa
  9. Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali dalam hal yang diatur oleh undang-undang
  10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
            Sehubungan dengan adanya ke 10 Asas yang menjamin perlindungan terhadap HAM dalam KUHAP tersebut, hal ini membuktikan bahwa proses peradilan pidana sangat membutuhkan adanya pemberian bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa serta terpidana yang tidak mampu dan buta hukum, sebab bantuan hukum diberikan kepada mereka yang membutuhkan dalam rangka menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia[9]. Serta untuk melakukan perubahan terhadap hukum-hukum yang tidak melindungi hak-hak rakyat didalam sebuah Negara hukum. Bahkan bantuan hukum telah menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial[10].
            Regulasi mengenai bantuan hukum sudah mulai diatur secara khusus ketika tahun 1970, hal ini dapat dilihat dengan keluarnya UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam UU tersebut menyatakan secara tegas mengenai asas-asas dan dasar dari bantuan hukum, hal ini dapat dilihat dalam pasal 35,36, dan pasal 37 dalam UU tersebut, namun kemudian undang-undang tersebut dirubah menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bantuan hukum dalam undang-undang ini diatur dalam Bab VII yakni pasal 37 sampai pasal 40 yang berbunyi sebagai berikut[11]:
1. Pasal 37
“setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”
2. Pasal 38
“dalam perkara pidana seseorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat”
3. Pasal 39
“dalam memberikan bantuan hukum sebagaimana dimaskud dalam pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan”
4. Pasal 40
”ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 dan pasal 38 diatur dalam undang-undang”
             Lebih lanjut penjabaran ketentuan yang universal mengenai hak-hak tersangka tercantum dalam KUHAP, terutama pasal 54 sampai dengan pasal 57 (yang mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukum) dan pasal 69 sampai dengan pasal 74 (mengenai tata cara penasihat hukum berhubungan dengan tersangka atau terdakwa)[12]. Misalnya saja seperti yang terdapat dalam pasal 54 Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut yang berbunyi ” guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” dari bunyi pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membela hak-hak tersangka/terdakwa, tersangka/terdakwa tersebut berhak untuk didampingi seorang atau lebih penasehat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
            Dan didalam pasal 56 KUHAP juga mengatur bahwa ”dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu diancam yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri. Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka, dan setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma”.
            Pengaturan bantuan hukum dalam KUHAP tersebut untuk memberikan kepastian akan adanya pemberian bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana mati atau lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Meskipun pengaturan bantuan hukum didalam KUHAP tersebut belum komprehensif, namun setidaknya telah cukup memberikan dasar pemahaman bahwa tersangka dan terdakwa berhak untuk mendapatkan bantuan hukum.
            Lebih lanjut pasal 69 s/d 74 KUHAP juga mengatur (hak dan tugas dari pada penasehat hukum) seperti pasal 69 yang berbunyi ”penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang ini”, dari bunyi pasal ini dapat di ambil kesimpulan guna pembelaan tersangka/terdakwa pemberi bantuan hukum (penasehat hukum) berhak untuk menghubungi tersangka/terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan hal ini dilakukan penasehat hukum guna untuk melindungi hak-hak tersangka/terdakwa. Setiap hubungan dan pembicaraan dilakukan tanpa pengawasan dari pejabat penyidik atau petugas Rutan selama pemeriksaan perkara dalam tingkat penyidikan dan penuntutan.

B. Kaitan Fungsi Penasehat Hukum dengan Sistem Peradilan Pidana
            Istilah “criminal justice system” atau sistem peradilan pidana kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Menurut Mardjono, mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menggulangi masalah kejahatan[13]. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
            Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan[14]:
  1. mencegah masyarakat menjadi korban kajahatan
  2. meneyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan dapat ditegakkan dan yang bersalah dipidana
  3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
            Tahap pemeriksaan diatur secara rinci dalam KUHAP yang pada prinsipnya memeberikan kewenangan tertentu kepada lembaga (administratif-biokratis) untuk melaksanakan sistem, mekanisme aturan, serta menjamin hak tersangka dalam proses pemeriksaan[15].
            Pada kondisi itu peradilan pidana memiliki kekuasaan luar biasa besar, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadian dan Lembaga Pemasyarakatan. Persoalanya seberapa jauh tugas pemeriksaan perkara dilaksanakan seperti harapan banyak pihak ditujukan terhadap peradilan, mampu atau tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, karena kecenderungan selama ini muncul adalah bahwa peradilan pidana lebih bersifat formal administratif/birokratis. Hal ini muncul sebagai konsekuensi dari semakin superiornya peradilan dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan fungsi administrasi peradilan untuk menanggulangi kejahatan[16].
            Menurut Satjipto Rahardjo yang dikutip oleh Anton F Susanto. Hal demikian disebabkan oleh pengaruh kontinental. Dalam administrasi keadilan tampak lebih menonjol pendekatan administrasi daripada hukum, yaitu lebih memikirkan tentang efisiensi kerja lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses mengadili tersebut. Pendekatan administrasi tersebut beberapa dekade ini terakhir ini didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem atau rancangan sistem[17].
            Jika dikaitkan dengan pendapat Romli dalam tujuan sistem peradilan pidana, maka penasehat hukum berguna untuk menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan dapat ditegakkan dan bersalah pidana. Serta mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. Hal ini membuktikan bahwa penasehat hukum membantu tersangka dalam menghadapi masalah-masalah hukum.
            Serta penasehat hukum berguna sebagai pencegah peradilan pidana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga pemasyarakatan agar tidak terjadi penyalah gunaan wewenang. Hal ini penting bagi tersangka yang tidak tahu akan hukum sehingga penasehat hukum dapat menolong tersangka. Serta dapat mempercepat administrasi di lembaga peradilan pidana yang membuat efisiensi kerja menjadi gampang dan tidak mempersulit tersangka.











BAB III
KESIMPULAN
           
            Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi penasehat hukum dalam melindungi hak-hak tersangka sudah diatur didalam KUHAP. Dari penjabaran di atas fungsi penasehat hukum dalam melindungi hak-hak tersangka adalah:
  1. mewakili tersangka  dalam menegakkan keadilan.
  2. melindungi hak asasi manusia
  3. membantu tersangka di dalam maupun di luar pengadilan
            Untuk penegakan keadilan penasehat hukum juga berperan besar, yang berguna sebagai pencegah kekuasaan yang berlebih dari para penegak hukum yang lain. Penasehat hukum menolong tersangka dari sistem administrasi yang berbelit serta mencegah tersangka menjadi korban kejahatan dari para penegak hukum. Sehingga tujuan sistem peradilan pidana dapat tercapai.        
           


                [1] Lihat Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
                [2] Aria Zurnetti, Modul Bantuan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2003, hlm. 5-6
                [3] Soetandyo Wignjosoebroto, Kebutuhan Warga Masyarakat Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta, 2007, hlm. 67-68.
                [4] Daniel panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Jakarta, 2006. hlm. 48.
                [5] Lihat, M. Yahya Harahap, Pembahasan  Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan Penuntutan edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 342.
                [6] Indriyanto Seno Adji, Humanisme dan Pembaharuan Penegak Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2009. hlm. 35.
                [7] Soerjono Soekanto, et.al., Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 21. 
                [8] Jurnal dalam www.hukumonline.com. Di akses pada tanggal 25 maret 2010 jam 19.00.
                [9] Arya Zurnetti dan Teguh Sulistya, Bantuan Hukum Sebagai Perwujudan Jaminan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum Yustisia Universitas Andalas, Padang,1996. hlm. 76.
                [10] Nur Kholis, Refleksi dan Masa Depan Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum Palembang, Palembang, 2005. hlm. 116.
                [11] Lihat Undang-Undang No 4 tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman.
                [12] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 87.
                [13] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionalisme, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 15.
                [14] Ibid.
                [15] Anton. F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 82.
                [16] Ibid., hlm 83.
                [17] Ibid.