Rabu, 02 Desember 2009

ITE

ITE

Kehadiran teknologi informasi, khususnya internet, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan hukum perjanjian. Para pelaku usaha memanfaatkan internet sebagai jaringan penghubung aktivitas mereka. Perkembangan hukum perjanjian sebagai akibat dorongan internet bukan tanpa masalah.

Paradigma bisnis elektronik, lazim disebut e-commerce, merujuk pada setiap aktivitas bisnis yang dilakukan dengan teknologi, termasuk menggunakan media elektronik saat membuat kontrak. Dalam konteks ini, kemudian lahirlah istilah kontrak elektronik, sebagai “a contract formed by transmitting electronic message between computers.

menunjuk pasal 1 sub 17 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan pasal ini, kontrak elektronik merupakan perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Ini berarti, kata Rosa, kontrak elektronik bukan monopoli internet semata. Menurut Rosa, kontrak elektronik adalah setiap perjanjian yang dilahirkan dengan perantaraan alat-alat elektronik atau teknologi informasi serta dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.

ada beberapa masalah yang mungkin timbul dalam praktik. Konsumen dan pelaku bisnis harus yakin dan menjamin secara hukum bahwa transaksi yang mereka lakukan aman. Keamanan bertransaksi meliputi keyakinan penjual dan pembeli bahwa pihak lawan masing-masing bisa diidentifikasi, apakah mekanisme transaksi dapat diakses dan prosesnya dapat dibatalkan, serta aman dan sesuai hukum.

Masalah lain yang tak kalah penting diperhatikan adalah kejalasan pihak, integritas dari informasi, perlindungan hak privasi dan data pribadi, perniagaan lintas negara dengan mata uang dan sistem hukum yang berbeda. Belum lagi kejelasan pembayaran dari setiap transaksi, serta ganti kerugian bila terjadi wanprestasi dari salah satu pihak.

Mengutip Ian Walden, penulis buku Computer Crime and Digital Investigations (2007), Rosa menyatakan bahwa masalah yang paling menonjol dalam kontrak elektronik adalah legalitas ­e-commerce, khususnya pembuktian. Ada tiga isu kunci dalam konteks ini.

Pertama, soal validitas metode yang digunakan dalam perdagangan. Perjanjian apapun bentuknya, online atau tidak, dapat berbentuk tertulis atau lisan. Apapun bentuknya perjanjian dimulai dari kesepakatan antar para pihak. Asas penting dalam berkontrak menurut KUH Perdata adalah konsensualisme, yaitu kesepakatan para pihak. Kesepakatan kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang (pacta sunt servanda). Dalam kaitan ini, Rosa merujuk pada pasal 20 UU ITE, yang menyatakan transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima, kecuali ditentukan lain para pihak. Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Menurut Rosa, persoalan yang muncul dalam poin ini adalah kapan terjadi kesepakatan antar para pihak yang melakukan perjanjian.

Di sini harus dibedakan kontrak melalui email dengan kontrak melalui world wide web (www). Pada kontrak melalui email, kesepakatan sebagian besar terjadi berkisar antara kapan tawaran diterima oleh orang yang berhak menerima informasi hingga kapan penerima membaca dan mengkonfirmasi kembali informasi tersebut. “Sementara, kontrak elektronik via website kesulitannya terjadi dalam menentukan apakah kesepakatan terjadi dengan satu klik, dua klik atau tiga klik,”.

Kedua, pelaksanaan (enforceability) kontrak elektronik. Dalam hal ini ada dua masalah yang timbul: pembayaran dan menjamin pelaksanaan dengan tanda tangan elektronik. Cara pembayaran yang paling umum dalam kontrak elektronik adalah memakai kartu kredit.

Ketiga, pengakuan. Pengakuan terhadap informasi yang dihasilkan transaksi elektronik perlu, terutama bila dikaitkan dengan pembuktian. UU ITE, telah membawa perkembangan karena mengakui informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah (pasal 5).

Bagaimanapun, internet diakui telah membawa perkembangan dalam hukum perjanjian nasional. Sayang, KUH Perdata yang selama ini dijadikan payung sangat tertinggal. Meskipun andalan KUH Perdata, yaitu pasal 1320 dan 1338 tetap bisa dipakai, tetapi materinya sudah tidak memadai dibanding perkembangan saat ini. Buku III KUH Perdata hanya mengatur 15 jenis perjanjian, yang kesemuanya merupakan perjanjian bernama, lazim disebut benoemde contracten. Dalam praktik dunia bisnis di Indonesia telah muncul kontrak-kontrak baru yang tak bernama seperti perjanjian sewa beli, leasing, anjak piutang, dan waralaba.

Bahkan ada Release and Discharge (R & D) yang menabrak konsep hukum perdata. Melalui R & D, Pemerintah memberikan pembebasan dan pelepasan kepada debitur dari tanggung jawab perdata atau pidana apabila debitur telah melunasi kewajibannya. Bandingkan dengan pasal 1381 KUH Perdata yang menyatakan perikatan hapus karena pembayaran tetapi pembayaran tidak menghilangkan tanggung jawab dalam lapangan hukum pidana. Pasal 1853 KUH Perdata menambahkan, perdamaian tidak dapat menghalangi kejaksaan untuk menuntut perkara pidananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar