Otonomi Daerah dalam era orde baru 1965-1998
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, merupakan koreksi dan penyesuaian baru dari UU nomor 1965 sesuai dengan pergantian Orde Lama ke Orde Baru. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir sesudah adanya pengarahan politis mengenai pemerintahan daerah dalam GBHN. Undang-undang ini lahir sebagai pelaksanaan Tap MPR No.IV Tahun 1973 dan juga di bawah rangka UUD 1945. UU Nomor 5 Tahun 1974 dinilai sangat bernuansa sentralistis dan kurang memperhatikan kedudukan DPRD sebagai badan legislatif yang berdiri sendiri.
A. Latar belakang situasi dan suasana pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan menomorduakan pembangunan politik. Pemerintahan Orde Baru dengan trilogi pembangunan pada waktu itu hendak menciptakan stabilitas nasional yang mantap.
Untuk itu diperlukan pemerintahan yang stabil dari Pusat sampai ke daerah. Selanjutnya dibuatlah berbagai undang-undang yang sentralistis, mengurangi kegiatan Partai Politik dan memandulkan peran DPR dan juga peran DPRD. Bahkan di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk dengan istilah penguasa tunggal dan menomorduakan peran DPRD dan demokrasi.
Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai menjadi 2 partai (PPP dan PDI) di samping dominasi Golkar. Pengukuhan Dwi Fungsi ABRI di segala bidang dan sektor pemerintahan termasuk di bidang legislatif dari Pusat sampai ke Daerah.
B. Asas pemerintahan yang digunakan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974
UU Nomor 5 Tahun 1974 sesuai dengan judulnya “Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah” bersifat limitatif dan dalam pemberian otonomi setengah hati dengan sebutan “buntutnya diberikan tetapi kepalanya tetap dipegang dan dikuasai sepenuhnya oleh Pusat”. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan asas bersama-sama dengan seimbang dan serasi yaitu:
- Asas Dekonsentrasi
- Asas Desentralisasi
- Asas Pembantuan
Dengan pembangunaan tiga asas ini dalam sistem pemerintahan daerah secara sekaligus, maka hal ini mengaburkan makna otonomi daerah dan dalam prakteknya, Pemerintah Pusat lebih bertitik berat pada pelaksanaan asas dekonsentrasi. Hal ini nampak jelas dalam hal:
a. kewenangan menentukan Kepala Daerah Propinsi adalah pada Presiden, dan Kepala Daerah Kabupaten/Kotamadya adalah Menteri Dalam Negeri. Peran DPRD hanya menentukan pilihan calon untuk disarankan diputuskan oleh Pemerintah.
b. Tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan tigkat desa.
C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut UU Nomor 5 Tahun 1974
1. Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam pasal 13 menyebutkan bahwa: Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 13 ayat (1)). Kedudukan DPRD lemah. Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi yang disebut Gubernur, Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang disebut Bupati/Walikota.
Dalam rangka pelaksananan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Wilayah Administratif, selanjutnya disebut Wilayah, adalah lingkungan kerja perangkat pemerintahan umum di daerah (Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan/Kota Administratif.
Dengan demikian, maka dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin badan eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif.
Rumusan dan arti pemerintah daerah, sering ditafsirkan sepihak oleh pihak eksekutif dalam melaksanakan kebijaksanaan daerah, yaitu dengan memakai istilah kebijaksanaan Pemda, yang dalam banyak hal tidak memberitahu atau mengkonsultasikan kebijaksanaan tersebut kepada DPRD.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengenal lembaga Badan Pemerintah Harian (BPH) atau Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Tapi di lain pihak menurut pasal 64 UU nomor 5 Tahun 1974, diadakan lembaga baru ialah Badan Pertimbangan Daerah yang anggotanya terdiri dari pimpinan DPRD dan unsur fraksi yang belum terwakilkan dalam pimpinan DPRD. Di samping itu ada jabatan baru yang lain, yaitu jabatan Asisten Sekretaris Wilayah/Daerah.
2. Kepala Daerah
Menurut pasal 15 UU Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/ Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Daerah DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Kemudian hasil diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang di antaranya.
Dalam diri kepala daerah terdapat 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah dan fungsi sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelengaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintahan Pusat di daerah.
D. Kewenangan Daerah Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974
1. Kewenangan Otonomi
UU Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang kewenang Daerah. Hanya disebut bahwa Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur rumah tangganya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 7). Ketentuan ini merupakan pasal karet yang sewaktu-waktu bisa ditambah dan dikurangi sesuai kehendak Pemerintah. Untuk memudahkan Pemerintah, diberlakukan prinsip: “Wewenang atau urusan yang diserahkan kepada Daerah, dapat ditarik kembali. Kewenangan yang tidak diserahkan kepada Daerah, berarti tetap wewenang Pemerintah Pusat.”
2. Tugas Pembantuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah atau pemerintahan daerah yang lebih rendah urusan tugas pembantuan dengan kewajiban mempertanggugjawabkan kepada yang menugaskannya. Adapun tata cara pemberian tugas pembantuan diatur dalam pasal 12 UU No 5 Tahun 1974 sebagai berikut:
(1) Dengan peraturan perundangan-undangan, Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada pemerintah daerah otonomi untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
(2) Dengan peraturan daerah, Pemerintah Daerah Otonom Tingkat I dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah Otonom Tingkat II untuk melaksanakan tugas pembantuan.
(3) Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam (1) dan (2) tersebut di atas, disertai dengan pembiayaannya.
3. Dekonsentrasi
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya) juga menjalankantugas dekonsentrasi.
E. Prinsip Otonomi yang Dianut UU Nomor 5 Tahun 1974
a. Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
b. Otonomi adalah hak, wewenang dan sekaligus kewajiban.
F. Keuangan Daerah Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974
Sumber pendapat Daerah
1. Pendapatan Asli Daerah sendiri yang terdiri dari:
- hasil pajak daerah
- hasil restribusi daerah
- hasil perusahaan daerah
- lain-lain usaha daerah yang sah
2. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah yang terdiri dari:
- sumbangan dari pemerintah
- sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
3. Lain-lain pendapatan yang sah.
Otonomi Daerah Dalam era Reformasi
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 yang disusul dengan UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. UU No 22 Tahun 1999 mulai berlaku 7 Mei 1999, lebih terkenal dengan nama UU Otonomi Daerah 1999, lahir sebagai pelaksanaan ketetapan MPR RI No XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan juga di bawah rangka UUD 45.
Seperti proses lahirnya beberapa UU Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, juga UU No 22 Tahun 1999 ini terkesan merupakan pergeseran pendulum dari satu ekstrim yang satu ke satu ekstrim yang lainnya, sesuai dengan kondisi politik saat itu. UU No 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran pendulum yang cukup drastis dari kondisi sentralistis kea rah desentralisasi yang lebih luas.
A. Latar belakang situasi dan suasana pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lahir dalam suasana hiruk pikuk reformasi dan menandai perubahan rezim Orde Baru.
Ditengah-tengah maraknya arus reformasi setelah tumbangnya rezim Soeharto, menuntut pelaksanaan demokrasi dari Pusat sampai Daerah. Untuk itu maka DPR dan DPRD harus berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalankan kontrol dan pengawasan terhadap pihak eksekutif.
Merealisasi tuntutan diatas, maka dibentuklah undang-undang yang intinya merombak paradigma pembangunan ekonomi kearah pembangunan yang serasi di semua bidang termasuk peran legislatif dan yudikatif.
Sistem kenegaraan yang selama orde baru bertitik berat pada peran eksekutif (executive heavy) yang dominant, kini bergeser kea rah pemberdayaan bidang legislatif secara proporsional sehingga dapat mengontrol dan mengawasi pihak eksekutif dari pusat sampai daerah.
Mengakhiri dominasi Presiden sebagai Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal itu, terutama di Daerah, dibuatlah undang-undang yang materinya membatasi kewenangan Kepala Daerah dan memantapkan kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai badan perwakilan rakyat yang memiliki kekuatan seimbang dengan Kepala Daerah atau bahkan terkesan penjungkir balikan rumusan pasal 13 UU nomor 5 Tahun 1974. ada kesan, peran legislatif lebih dominant berhadapan dengan peran eksekutif.
Kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. DPRD memilih dan menetapkan Kepala Daerah, sedangkan Presiden hanya mengesahkan sebagaimana sarana administratif. Dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah melalui persyaratan perundang-undangan.
B. Asas pemerintahan yang digunakan sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 secara formal menggunakan asas desentralisasi, dengan memperkuat fungsi DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah. DPRD mempunyai kewenangan memilih dan memberhentikan Kepala Daerah.
Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 hanya menunjuk Gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi di samping desentralisasi. Undang-undang ini juga mengatur asas pembantuan hingga pengaturan tentang Pemerintah Daerah.
C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah sesuai UU nomor 22 Tahun 1999
Sesuai isi UU nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk itu, dirumuskan:
1. Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bersifat otonomi.
2. daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU No 22 Tahun 1999)
3. daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Adapun Susunan Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:
a. Kepala Daerah Provinsi (Gubernur), Kepala Daerah Kabupaten (Bupati), Kepala Daerah Kota (Walikota), Camat, Lurah/Kepala Desa.
b. Di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan Eksekutif Daearah.
c. Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya.
d. DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah daerah.
e. Dalam menjalankan tugasnya, gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi, bupati dan walikota bertanggun jawab kepada DPRD kabupaten/kota.
D. Kewenangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di rumuskan dalam pasal 7-13 tentang kewenanga daerah dengan rinci dan intinya:
• Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lain (pasal 7 ayat 1)
Kewenangan lain sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pemberian dan pemberdayaan sunber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
• Kewenanga Pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
• Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
• Daerah tidak saja berwenang di wilayah darat, tetapi juga di wilayah laut.
• Dalam hal pelaksanaan dekonsentrasi provinsi sebagai wilayah administratif mendapat kewenangan yang ditempatkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintahan
• Tugas pembantuan pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertemtu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan mempertanggung jawabkannya kepada Pemerintah.
E. Prinsip Otonomi yang dianut UU No 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengganti prinsip otonomi Orde Baru dengan
1. Otonomi luas, nyata , dan bertanggung jawab
2. Penyelenggaraan otonomi memperhatikan aspek demokrasi, partisipasif, adil dan merata dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
4. Otonomi provinsi bersifat terbatas, sekaligus menjalankan fungsi dekonsentrasi
F. Ketentuan tentang keuangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999 jo UU 25 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan antara pusat dan daerah. Peraturan daerah tidak lagi memerlukan pengesahan dari pemerintah pusat.
Sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (pasal 79). Sesuai isi pasal 6 UU No 25 Tahun 1999, dana perimbangan terdiri:
1. Bagian daerah dari penerimaan PBB dan penerimaan dari sumber daya alam;
2. Dana Alokasi Umum;
3. Dana Aloasi Khusus.
Adapun pembiayaan tugas Pemerintahan Daerah dan DPRD di biayai dari dan atas beban APBD ( pasal 78 ayat1)
Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari atas beban APBN ( pasal 78 ayat 2)
Pengesahan APBD dalam bentuk Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan.
G. Hubungan pengawasan pemerintah pusat terhadapan daerah sesuai UU No 22 Tahun 1999
Berbeda dengan sistem pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah dalam Undang-undang 22 Nomor 5 Tahun 1974, yang terdiri dari pengawasan umum, preventif dan represif, maka sebagai koreksi atas sifat otonomi yang sentralistik maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, hanya mengenal pengawasan represif.
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan berupa pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Daerah yang tidak bisa menerima keputusan pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukan kepada Pemerintah.
Dari pengalaman kita mencatat bahwa ribuan peraturan daerah terpaksa ditunda atau dibatalkan karena bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal itu timbul karena semangat reformasi yang salah kaprah dan kurang memahami sistem perundangan-undangan yang sudah ada, dengan alasan demi penimgkatan pendapatan asli daerah.
H. Pengaturan Daerah
Sejak lahirnya Undang-undang Desentralisasi 1903, hingga ketika Indonesia merdeka dengan Undang-Undang Dasar 1945, mengakui esitensi desa atau dengan nama lain, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaturan otonomi daerah. Kalau pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pengaturan desa ditempatkan dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi kedua undang-undang tersebutmerupakan kondisi yang saling melengkapi sebagai pengaturan pemerintahan daerah.
Undang-undang No 22 Tahun 1999 dalam ketentuan umum pasal 1. o, dan pasal 93 -111 mengatur tentang otonomi desa sebagai berikut:
1. Desa atau disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mangatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (Ketentuan Umum Pasal 1,o).
2. Pemerintah Desa terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Perwakila Desa.
3. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa barsama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan terhadap pemerintahan Desa.
4. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat Desa.
5. Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melaui BPD dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Bupati.
6. Kewenangan Desa Mencakup:
• Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
• Kewenangan yang oleh peraturan perundangan-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah;
• Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabuten.
Sumber pendapatan desa terdiri atas:
Pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah); bantuan dari pemerintah kabupaten (bagian dari perolehan pajak dan restribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten); bantuan dari pemerintah dan pemerintah provinsi; sumbangan dari pihak ketiga; dan pinjaman desa (pasal 107, UU Nomor 22 Tahun 1999)
Maksud Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua kewenangan di bidang pemerintahan.
Otonomi nyata maksudnya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi.
10 paradigma baru bagi perubahan tata pemerintahan daerah:
1. Struktur /konstruksi pemerintah daerah di ubah yakni kepala daerah dan perangkat desa
2. Cara pemilihan kepala daerah di ubah dengan meniadakan intervensi dari pusat. Pemilihan bupati walikota dilakukan secara paket bersama wakil daerah dan keputusan final ditangan DPRD. Kecuali pemilihan gubernur dan wakil gubernur masih diperlukan konsultasi pimpinan DPRD dengan Presiden, mengiat mereka masih merangka sebagai wakil pemerintah pusat.
3. Pengaturan tentang susunan organisasi dan pegawai daerah otonomi diserahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah.
4. Kewenangan daerah diperbesar.
5. Kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom pada kabupaten atau kota.
6. Sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang didasari kepada bentuk subsidi daerah otonom dan inpres yang diubah menjadi bentuk bagi hasil.
7. Sistem pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan kepada pemahaman represif.
8. Hubungan kepala daerah dengan birokrasi dirasionalkan.
9. Penekanan disain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi berjenis.
10. Untuk memberdayakan masyarakat adat otonomi desa yang dijamin dalam UUD 1945 dihidupkan kembali. Dalam konteks ini desa diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan susunan asli dan hak asal usul.
Hubungan legislatif dengan eksekutif menurut UU No 22 Tahun 1999:
1. DPRD bukan lagi bagian dari pemerintah daerah, DPRD menjalankan tugas legislatif sedangkan pemerintah daerah menjalankan tugas eksekutif
2. Kalau dulu DPRD mengajukan calon kepala daerah untuk dipilih satu diantaranya oleh pemerintah tanpa terikat pada hasil pemungutan suara oleh DPRD, pada masa sekarang setelah melakukan penyaringan bakal calon DPRD provinsi berkonsultasi dengan Presiden untuk menetapkan para calon gubernur, sedangkan bupati atau walikota dipilih dan ditetapkan oleh DPRD tanpa berkonsultasi cengan pemerintah pusat.
3. Pada masa lalu gubernur atau bupati atau walikota selaku wakil pusat mengawasi DPRD dan menurut UU No 22 Tahun 1999 DPRD yamg mengawasi gubernur/walikota/bupati dan berhak meminta pertanggung jawaban kepada mereka.
4. dahulu dibedakan hak DPRD dengan hak anggota DPRD pada masa UU No22 Tahun1999 hak DPRD sekaligus hak anggota DPRD