Selasa, 24 April 2012

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA POLITIK DENGAN HUKUM



HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA POLITIK DENGAN HUKUM




Tugas Matakuliah
Sosiologi Hukum






Oleh   :
HARRY TYAJAYA, SH
0921211024




Unand 2







PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
2010






BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi[1]. Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
            Sebelum kita membahas lebih dalam, mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan politik dalam penegakkan hukum di lihat dari aspek sosiologi hukum sebaiknya kita perlu mengetahui definisi sosiologi hukum menurut Soerjono Soekanto[2] yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala–gejala social lainnya. Satjipto Rahardjo[3] menyatakan sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya. Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah diatur dalam Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar).
            Pengertian politik hukum menurut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk[4]. Ini dapat diperjelas dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan peneyelenggaraan negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.
            Von Savigny berpendapat Kekuatan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat yg terdiri dr kompleksitas individu dan perkumpulan. Pembuat undang- undang harus mendapat bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan mempertimbangkan perasaan hukum dan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini dipertegas pernyataan dari John Austin yang menyatakan hukum merupakan perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
            Mengenai politik dan hukum dalam suatu negara sebenarnya ada di tangan pemerintah, sebagai pihak yang berwenang menjalankan roda kenegaraan berhak untuk mengeluarkan produk hukum yang sesuai dengan corak politik yang berlaku pada saat itu, dengan tujuan untuk menciptakan suatu aturan yang mengarah kepada keadilan dan kesejahteraan. Namun kemauan politik pada tingkat nasional akan kurang berarti apabila tidak diteruskan sampai ke lapisan kehidupan yang lebih rendah. Bahkan tidak berlebihan kiranya, apabila dikatakan indikator untuk keberhasilan pelaksanaan kemauan tersebut sebaiknya dilihat pada tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan atau pemerintah. Bukan hanya di Jakarta, Bandung, Surabaya atau Semarang, melainkan harus menjangkau sampai ke pelosok desa yang terpencil di seluruh tanah air.
1.      Dengan demikian ukurannya bukan “sudah berapa jumlah undang-undang yang dibuat”, “berapa tambahan gedung pengadilan” dan sebagainya, melainkan apakah “jalan masuk kepada keadilan” itu telah dirasakan oleh kebanyakan orang di Indonesia, khususnya dari lapisan bawah yang ada di pedesaan.
2.      Hukum merupakan alat yang dipergunakan untuk menata kehidupan sosial yang penuh dengan gejolak dan dinamika.
            Sehubungan dengan hal ini maka perlu diadakan penataan terhadap lembaga politik yang diarahkan untuk terciptanya suatu kepemimpinan yang berwibawa, aparat penegak hukum yang bersih, jujur, efisien dan bertanggungjawab, demokratis dan memiliki komitmen yang tinggi dengan nasib rakyat banyak.


            Dari gambaran di atas, maka penulis dalam tulisan ini ingin memberikan atau membagi permasalahan menjadi 2 pokok permasalahan:
A.    Apakah pengaruh politik terhadap hukum
B.     Bagaimanakah format kekuasaan politik dalam negara hukum Indonesia







 


 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Politik Terhadap Hukum
            Banyak sekali peraturan hukum  yang tumpul tidak mampu memotong kesewenang-wenangan. Bahkan produk hukum banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum. Sebelum itu kita lihat dulu asumsi bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dianggap sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum ini mudah dipahami. Sidang parlemen yang dibuat untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua partai politik dapat termuat dalam keputusan dan menjadi undang-undang[5].
            Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
            Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan[6]. Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.

B. Format Kekuasaan Politik Dalam Negara Hukum Indonesia
            Kriteria bagi suatu negara modern adalah apabila kekuasaan memerintah dalam suatu negara diselenggarakan berdasarkan hukum. Dengan pengertian bahwa suatu negara hukum, pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, maupun lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif selaku instrumen politik, harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum. Namun hukum hanya memberikan kerangka idiologis dalam perubahan-perubahan sosial yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan diperlakukan sama. Hal ini sangat penting, karena tanpa jaminan tersebut, maka perubahan-perubahan social yang dikehendaki alam masyarakat hampir tidak mungkin, karena orang tidak percaya lagi kepada negara (pemerintah), kepada struktur dalam masyarakat, atau kepada siapa saja.
            Keadaan tersebut dapat dilihat sekarang, bahwa sikap-sikap dari elit politik yang masih berperan pada kepentingan politik yang sempit dan partisan, daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Retorika populis yang disampaikan hanya sebatas pada mencari popularitas dan dukungan politik, bukan sebagai langkah untuk menciptakan budaya politik yang demokratis dan egaliter. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan krisis yang berkepanjangan di Indonesia, karena runtuhnya penghormatan institusi negara terhadap ketentuan hukum sebagai kerangka pengaturan kehidupan sebuah masyarakat modern. Akibatnya suhu politik meningkat terus, sehingga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun dunia Internasional. Padahal secara normatif UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan negara hukum, bukan negara kekuasaan. Segala sesuatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan institusi negara lainnya harus berdasarkan kepada hukum. Dengan demikian konstitusi yang telah diciptakan tersebut untuk mengatur dan membatasi tindakan-tindakan pemerintah dan rakyat dalam melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. Tentunya konstitusi yang dibuat itu tidaklah statis namun dinamis, yaitu mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu konstitusi dapat saja diubah karena tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, sebagaimana yang telah dilakukan mulai dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, melalui perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat, hal ini dengan tujuan untuk menjaga stabilitas roda kenegaraan, agar tidak terjadi kekacauan. Sehubungan dengan itu maka pembentukan hukum harus memperlihatkan kesadaran hukum masyarakat. Di samping itu tidak tertutup kemungkinan bahwa hukum menciptakan pola-pola baru di dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya menciptakan kesadaran hukum baru sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan[7].
            Suatu sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi semua pihak dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Hukum dibuat sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan, dan juga harus dimengerti atau dipahami oleh masyarakat secara keseluruhan Supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka ketentuan hukum tersebut harus disebarluaskan sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat komunikasi merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum, baik secara formal maupun informal, sehingga apa yang diinginkan oleh hukum dapat tercapai. Dari sini kelihatan bahwa jaminan terhadap negara hukum itu adalah ditentukan oleh dua persoalan, yaitu apakah hukumnya dibuat melalui proses yang sesuai dan kemudian diratifikasi secara demokratis, serta apakah hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh rakyat yang diperintahnya secara tersurat maupun tersirat. Jawaban positif terhadap kedua hal ini menentukan juga kadar keseimbangan politik yang dihasilkan oleh konstitusi (hukum) yang bersangkutan. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa konstitusi (hukum) suatu negara, harus dibuat berdasarkan keseimbangan politik yang ada. Sehingga hukum itu dapat mengakomodir semua kalangan dan tidak cenderung menguntungkan salah satu pihak. Disinilah perlu adanya kesamaan pandangan atau persepsi terhadap kandungan dari peraturan hukum yang diciptakan dari berbagai pihak, baik dari unsur masyarakat, partai politik, organisasi sosial maupun pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya.



 
 

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
            Hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik, hukum membentuk suatu peraturan yang berguna bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan. Tetapi hukum di buat oleh lembaga politik yaitu legislatif. Hal ini membuat hasil yang dibuat oleh DPR adalah produk politik bukan produk hukum.
            konstitusi suatu negara, harus dibuat berdasarkan keseimbangan politik yang ada. Sehingga hukum itu dapat mengakomodir semua kalangan dan tidak cenderung menguntungkan salah satu pihak. Disinilah perlu adanya kesamaan pandangan atau persepsi terhadap kandungan dari peraturan hukum yang diciptakan dari berbagai pihak, baik dari unsur masyarakat, partai politik, organisasi sosial maupun pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya.


                [1] Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 58
                [2] Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm.
                [3] Satjipto.R, Ilmu Hukum,Alumni Bandung, Bandung, 1982, hal. 310.
                [4] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 160.
                [5] Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 9-10.
                [6] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 118.
                [7] Lihat blog Prof DR Zainudin Ali “Hubungan Timbal Balik Antara Hukum Dan Politik Dalam Penegakkan Hukum Dilihat Dari Aspek Sosiologi Hukum” www.google.com. Di akses 27 Maret 2010. Pada jam 11.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar