HUBUNGAN
TIMBAL BALIK ANTARA POLITIK DENGAN HUKUM
Tugas Matakuliah
Sosiologi Hukum
Oleh :
HARRY
TYAJAYA, SH
0921211024
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Law is a command of the Lawgiver (hukum
adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin,
seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi[1].
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi
dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana yang
berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum
menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi
manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka
yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali
keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan
antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan
peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah
supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan
tirani yang merajalela."
Sebelum
kita membahas lebih dalam, mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan
politik dalam penegakkan hukum di lihat dari aspek sosiologi hukum sebaiknya
kita perlu mengetahui definisi sosiologi hukum menurut Soerjono Soekanto[2]
yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala–gejala
social lainnya. Satjipto Rahardjo[3]
menyatakan sosiologi hukum (sociology of
law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam
konteks sosialnya. Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah diatur
dalam Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam
Penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar).
Pengertian
politik hukum menurut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan
dibentuk[4].
Ini dapat diperjelas dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan peneyelenggaraan
negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu yang di
dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.
Von
Savigny berpendapat Kekuatan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat yg
terdiri dr kompleksitas individu dan perkumpulan. Pembuat undang- undang harus
mendapat bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan mempertimbangkan perasaan
hukum dan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini dipertegas pernyataan dari John
Austin yang menyatakan hukum merupakan perintah dari kekuasaan politik yang
berdaulat dalam suatu negara.
Mengenai
politik dan hukum dalam suatu negara sebenarnya ada di tangan pemerintah,
sebagai pihak yang berwenang menjalankan roda kenegaraan berhak untuk
mengeluarkan produk hukum yang sesuai dengan corak politik yang berlaku pada
saat itu, dengan tujuan untuk menciptakan suatu aturan yang mengarah kepada
keadilan dan kesejahteraan. Namun kemauan politik pada tingkat nasional akan
kurang berarti apabila tidak diteruskan sampai ke lapisan kehidupan yang lebih
rendah. Bahkan tidak berlebihan kiranya, apabila dikatakan indikator untuk
keberhasilan pelaksanaan kemauan tersebut sebaiknya dilihat pada tempat-tempat
yang jauh dari pusat kekuasaan atau pemerintah. Bukan hanya di Jakarta,
Bandung, Surabaya atau Semarang, melainkan harus menjangkau sampai ke pelosok
desa yang terpencil di seluruh tanah air.
1.
Dengan demikian ukurannya bukan “sudah
berapa jumlah undang-undang yang dibuat”, “berapa tambahan gedung pengadilan”
dan sebagainya, melainkan apakah “jalan masuk kepada keadilan” itu telah
dirasakan oleh kebanyakan orang di Indonesia, khususnya dari lapisan bawah yang
ada di pedesaan.
2.
Hukum merupakan alat yang dipergunakan
untuk menata kehidupan sosial yang penuh dengan gejolak dan dinamika.
Sehubungan dengan hal ini maka perlu
diadakan penataan terhadap lembaga politik yang diarahkan untuk terciptanya
suatu kepemimpinan yang berwibawa, aparat penegak hukum yang bersih, jujur,
efisien dan bertanggungjawab, demokratis dan memiliki komitmen yang tinggi
dengan nasib rakyat banyak.
Dari gambaran di atas, maka penulis
dalam tulisan ini ingin memberikan atau membagi permasalahan menjadi 2 pokok
permasalahan:
A.
Apakah pengaruh politik terhadap hukum
B.
Bagaimanakah format kekuasaan politik
dalam negara hukum Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengaruh Politik Terhadap Hukum
Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul tidak mampu memotong
kesewenang-wenangan. Bahkan produk hukum banyak diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Politik kerapkali
melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum. Sebelum itu kita
lihat dulu asumsi bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dianggap sebagai dependent variable (variabel
terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan hukum
sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas
hukum ini mudah dipahami. Sidang parlemen yang dibuat untuk membuat
undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontestasi
agar kepentingan dan aspirasi semua partai politik dapat termuat dalam
keputusan dan menjadi undang-undang[5].
Menurut Daniel S. Lev, yang paling
menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik.
Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa
tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi
kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Walaupun
kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut tidak diidentikan dengan maksud
pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika
pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur
kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan
terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik
dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan,
ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan
struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Dari kenyataan ini disadari, adanya
suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah
institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu,
ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan
dalam hukum yakni mencakup kata “process”
dan kata “institutions,” dalam
mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh
itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu
institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang
besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo
berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan[6].
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan
kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat
menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk
hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan
kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari
kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat
dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal
(institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan
lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga
negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah
seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian
dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh
kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan
otoritas untuk itu.
B.
Format Kekuasaan Politik Dalam Negara Hukum Indonesia
Kriteria
bagi suatu negara modern adalah apabila kekuasaan memerintah dalam suatu negara
diselenggarakan berdasarkan hukum. Dengan pengertian bahwa suatu negara hukum,
pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan
konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal
ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik,
maupun lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif selaku instrumen politik,
harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan
hukum. Namun hukum hanya memberikan kerangka idiologis dalam
perubahan-perubahan sosial yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan
diperlakukan sama. Hal ini sangat penting, karena tanpa jaminan tersebut, maka
perubahan-perubahan social yang dikehendaki alam masyarakat hampir tidak mungkin,
karena orang tidak percaya lagi kepada negara (pemerintah), kepada struktur
dalam masyarakat, atau kepada siapa saja.
Keadaan
tersebut dapat dilihat sekarang, bahwa sikap-sikap dari elit politik yang masih
berperan pada kepentingan politik yang sempit dan partisan, daripada
memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Retorika populis yang disampaikan
hanya sebatas pada mencari popularitas dan dukungan politik, bukan sebagai
langkah untuk menciptakan budaya politik yang demokratis dan egaliter. Hal ini merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan krisis yang berkepanjangan di Indonesia,
karena runtuhnya penghormatan institusi negara terhadap ketentuan hukum sebagai
kerangka pengaturan kehidupan sebuah masyarakat modern. Akibatnya suhu politik
meningkat terus, sehingga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat, baik dari
dalam negeri maupun dunia Internasional. Padahal secara normatif UUD 1945
secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan negara hukum, bukan negara
kekuasaan. Segala sesuatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan institusi
negara lainnya harus berdasarkan kepada hukum. Dengan demikian konstitusi yang
telah diciptakan tersebut untuk mengatur dan membatasi tindakan-tindakan
pemerintah dan rakyat dalam melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing.
Tentunya konstitusi yang dibuat itu tidaklah statis namun dinamis, yaitu
mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu
konstitusi dapat saja diubah karena tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada,
sebagaimana yang telah dilakukan mulai dari tahun 1999 sampai dengan tahun
2002, melalui perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat, hal ini dengan
tujuan untuk menjaga stabilitas roda kenegaraan, agar tidak terjadi kekacauan.
Sehubungan dengan itu maka pembentukan hukum harus memperlihatkan kesadaran
hukum masyarakat. Di samping itu tidak tertutup kemungkinan bahwa hukum
menciptakan pola-pola baru di dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya
menciptakan kesadaran hukum baru sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan[7].
Suatu
sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum
tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi semua pihak dan sesuai dengan
kondisi masyarakat. Hukum dibuat sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan,
dan juga harus dimengerti atau dipahami oleh masyarakat secara keseluruhan
Supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka
ketentuan hukum tersebut harus disebarluaskan sehingga melembaga dalam
masyarakat. Adanya alat komunikasi merupakan salah satu syarat bagi penyebaran
serta pelembagaan hukum, baik secara formal maupun informal, sehingga apa yang
diinginkan oleh hukum dapat tercapai. Dari sini kelihatan bahwa jaminan
terhadap negara hukum itu adalah ditentukan oleh dua persoalan, yaitu apakah hukumnya
dibuat melalui proses yang sesuai dan kemudian diratifikasi secara demokratis,
serta apakah hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh
rakyat yang diperintahnya secara tersurat maupun tersirat. Jawaban positif
terhadap kedua hal ini menentukan juga kadar keseimbangan politik yang
dihasilkan oleh konstitusi (hukum) yang bersangkutan. Dari pernyataan ini dapat
dipahami bahwa konstitusi (hukum) suatu negara, harus dibuat berdasarkan
keseimbangan politik yang ada. Sehingga hukum itu dapat mengakomodir semua
kalangan dan tidak cenderung menguntungkan salah satu pihak. Disinilah perlu
adanya kesamaan pandangan atau persepsi terhadap kandungan dari peraturan hukum
yang diciptakan dari berbagai pihak, baik dari unsur masyarakat, partai politik,
organisasi sosial maupun pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum
tidak bisa dipisahkan dengan politik, hukum membentuk suatu peraturan yang
berguna bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan. Tetapi hukum di buat oleh
lembaga politik yaitu legislatif. Hal ini membuat hasil yang dibuat oleh DPR
adalah produk politik bukan produk hukum.
konstitusi
suatu negara, harus dibuat berdasarkan keseimbangan politik yang ada. Sehingga
hukum itu dapat mengakomodir semua kalangan dan tidak cenderung menguntungkan
salah satu pihak. Disinilah perlu adanya kesamaan pandangan atau persepsi
terhadap kandungan dari peraturan hukum yang diciptakan dari berbagai pihak,
baik dari unsur masyarakat, partai politik, organisasi sosial maupun pemerintah
dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya.
[7]
Lihat blog Prof DR Zainudin Ali “Hubungan Timbal Balik Antara Hukum Dan Politik
Dalam Penegakkan Hukum Dilihat Dari Aspek Sosiologi Hukum” www.google.com. Di akses 27 Maret 2010. Pada
jam 11.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar