Problematik Pengembangan Hukum Terkait Pembalikan Beban Pembuktian
Dalam Tindak Pidana Gratifikasi
Oleh : Riki Afrizal, SH dan Harry Tyajaya, SH
Pendahuluan
Pemerintah melalui program-program kerjanya selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahterakan rakyat. Namun, upaya tersebut merupakan suatu yang sangat mustahil untuk dicapai apabila praktek korupsi masih menjadi suatu permasalahan yang tidak dapat diminimalisir dalam penegakan hukumnya. Korupsi menjadi suatu permasalahan yang terus menghantui bangsa ini karena perilaku korupsi tersebut sudah meluas dalam masyarakat baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Hal Ini dapat terlihat dari jumlah kasus korupsi yang terjadi serta mengenai cara para koruptor dalam melakukan korupsi yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan orang-orang yang memang mempunyai kompetensi dibidang hukum.
Metode penyelesaian secara konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra ordinary counter measuree).[1] Dengan sifat yang luar biasa tersebut, maka usaha untuk memberantas korupsi diantaranya diwujudkan dengan melahirkan undang-undang yang lebih tegas. Perumusan undang-undang dalam upaya penyelesaian suatu masalah hukum merupakan salah satu perwujudan unsur sistem hukum. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relations) dan kemudian membentuk struktur (structure).[2] Diantara beberapa unsur sistem hukum yang terkait dengan penegakan hukum menurut Lawrens W.Friedman[3] yaitu struktur hukum (legal sturucture), substasi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture), maka substansi hukum merupakan suatu unsur yang sangat penting sekali dibicarakan dan dikaji keefektifannya dalam menangani berbagai masalah yang diaturnya tersebut.
Substansi hukum (legal substance) yang dalam aliran positivisme hukum diartikan sebagai peraturan perundang-undangan tertulis dibuat sedemikian rupa guna memudahkan menjangkau perilaku korupsi. Secara lebih luas yang dimaksudkan substansi adalah aturan, norma, dan pola prilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum. Substansi hukum dapat juga berupa produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem tersebut, mencakupi keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.[4] Upaya untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penyempurnaan substansi hukum di Indonesia telah terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pengaturan dalam bentuk undang-undang telah dimulai sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian penyempurnaan terakhir adalah melalui undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2001 sebagai bentuk perubahan yang terbaru dari undang-undang pemberantasan korupsi mengatur beberapa hal yang merupakan pencerminan keseriusan upaya pemberantasan korupsi. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai tindak pidana gratifikasi dan pembalikan beban pembuktian. Dengan adanya pengaturan gratifikasi ini tentu saja ada hal-hal yang sangat urgen yang diharapkan dalam kebijakan legislatif perumusan bentuk tindak pidana dan pembuktiannya ini. Untuk melihat eksistensi pengaturan tindak pidana gratifikasi dan pembalikan beban pembuktian sebagai bentuk pembuktiannya sebagai upaya optimalisasi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ditinjau dari segi substansi hukum (legal substance), maka penulis akan mencoba menguraikan dalam pembahasan tulisan ini.
Pembahasan
Pengembangan pengaturan hukum pidana korupsi dalam undang-undang merupakan bagian dari politik hukum. Hal tersebut dapat dilihat dan dianalisa melaui makna politik hukum itu sendiri. Menurut Padmo Wahjono[5], politik hukum adalah kebijakan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. Soedarto[6] menyebutkan politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencari apa yang dicita-citakan. Dari dua pengertian yang disampaikan diatas maka politik hukum itu termasuk didalamnya perumusan kebijakan legislatif terhadap suatu persoalan hukum. Pemberantasan korupsi merupakan bagian dari persoalan hukum pidana yang kemudian pengatrurannya dihasilkan melalui hasil kebijakan legislatif. Sebagai upaya penyempurnaan pengaturan tentang tindak pidana korupsi, melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur delik gratifikasi yang dicantumkan dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengaturan mengenai gratifikasi ini merupakan salah satu bentuk penyempurnaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dilakukan mengingat bahwa gratifikasi merupakan salah satu delik korupsi yang tidak dapat dipungkiri realitasnya ditengah masyarakat dan substansi hukum sebelumnya belum menjangkau hal tersebut sebagai bagian dari upaya penegakan hukum.
`Pengertian Gratification atau terjemahan bebasnya adalah “pemberian hadiah yang menyenangkan…” dari seseorang kepada pejabat atau penyelenggara negara sehubungan dengan pekerjaannya,”[7] Praktek pemberian suatu materi (uang ataupun bentuk lainya) kepada pejabat negara ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun untuk mengungkapnya sebagai tindak pidana korupsi mengalami kesulitan. Kesulitan dalam mengungkap kasus gratifikasi itu disebabkan adanya kendala dalam menemukan fakta mengenai suatu keterkaitan bentuk pemberian tersebut dengan suatu jabatan serta dengan kewajiban dan tugas seseorang. Selain itu, tindak pidana gratifikasi dapat juga terjadi bersamaan dengan perbuatan suap sehingga sulitnya membedakan antara pemberian dalam bentuk gratifikasi dengan pemberian dalam bentuk suap.
Pengaturan gratifikasi dengan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian sebagai salah satu mekanisme dalam penanganan kasus korupsi secara normatif digunakan untuk mengarahkan proses peradilan pidana kepada kepastian hukum. Kepastian hukum akan dapat terwujud melalui penegakan hukum secara konsisten oleh penegak hukum. Penegakan hukum yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam tindak pidana gratifikasi diwujudkan melalui penerapan mekanisme pembuktian dalam proses peradilan pidana. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting atau titik sentral dalam proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang di benarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa[8]. Dalam hal pembuktian ada pembatasan terhadap alat-alat bukti yang ditentukan oleh hukum acara pidana yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan. Hukum acara pidana Indonesia menjelaskan pembuktian yang dianut oleh negara kita untuk membuktikan apakah seseorang bersalah atau tidak dalam melakukan suatu tindak pidana maka dilakukan dengan menggunakan sistem pembuktian negatief wettelijk.
Di Indonesia teori pembuktian yang digunakan adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie), yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang dan didukung dengan keyakinan hakim terhadap eksistensi alat bukti yang bersangkutan. Kemudian mengenai bagaimana mekanisme menjalankan alat bukti atau prosedur pembuktian, secara konvensional penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Namun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan pengecualian dengan adanya pembalikan beban pembuktian bagi tindak pidana gratifikasi. Pembalikan beban pembuktian tersebut menempatkan kewenangan membuktikan berada di tangan terdakwa. Ditetapkannya pembalikan beban pembuktian, maka menjadi beralih beban pembuktian (shifting of burden proof) dari Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Akan tetapi, walaupun pembalikan beban pembuktian dilarang terhadap kesalahan/perbuatan orang dan keseluruhan delik korupsi akan tetapi secara normatif diperbolehkan terhadap gratifikasi delik penyuapan dan perampasan harta kekayaan orang yang melakukan tindak pidana korupsi Pengecualian ini dilakukan mengingat tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa. Sifat keluarbiasaan sebagai suatu tindak pidana memerlukan perangkat hukum tertentu dan memadai, yaitu diperlukan adanya undang-undang hukum materiil dan hukum formil tertentu yang memadai pula serta dilengkapai dengan lembaga-lembaga hukum baru untuk menjangkaunya.[9] Terhadap tindak pidana korupsi dilakukan penyimpangan dalam sistem pembuktian. Hal ini bukan berarti tidak mempunyai alasan, karena pada dasarnya undang-undang pidana khusus memang menyimpang dari pidana umum termasuk dalam asas-asasnya.
Berbicara mengenai pembalikan beban pembuktian ada beberapa terminologi untuk menyebutkan asas ini yaitu dalam bahasa Indonesia sendiri digunakan istilah pembuktian terbalik, shifting of burden of proof atau reversal burden of proof dalam bahasa Inggris, omkering van de bewijslast dalam bahasa Belanda, dan onus of proof dalam istilah Latinnya. Dapat dikatakan bahwa beban pembuktian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sistem pembalikan pembalikan beban pembuktian “terbatas” atau “berimbang”. Terbatas disini adalah karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan mutlak terhadap semua delik yang ada pada undang-undang tersebut. Sedangkan berimbang maksudnya adalah bahwa pembuktian terhadap tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Jadi dapat dikatakan bahwa asas pembalikan beban pembuktian ini hanya merupakan suatu hal yang tidak mempunyai kekuatan represif terhadap tindak pidana korupsi yang ada selama ini.[10] Pada mulanya asas pembalikan beban pembuktian merupakan asas yang dipakai pada sistem hukum anglo saxon terhadap perkara tertentu. Indriyanto Seno Adji berasumsi bahwa :
“asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum (acara) pidana yang universal. Sesuai hukum pidana (formal), baik sistem Continental maupun Anglo Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada jaksa penuntut umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang deferensial, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian...”[11].
Hal ini berarti bahwa asas ini hanya diterapkan terhadap tindak pidana tertentu seperti gratifikasi. Terutama untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan suap atau tidak. Penggunaan pembalikan beban pembuktian pada perkara Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 B Ayat (1) pada huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai kewajiban pembuktian oleh terdakwa dalam gratifikasi dengan nilai Rp.10.000.000.000,- (sepuluh juta) atau lebih. Pengaturan tersebut memberikan konsekuensi yang tegas terhadap upaya memperoleh kepastian hukum. Bahwa kesulitan pembuktian terhadap tindak pidana korupsi dapat diminimalisir dengan pembuktian oleh si terdakwa bahwa dakwaan tersebut benar atau tidaknya. Namun, bukan berarti dengan demikian menghapuskan kewajiban jaksa melakukan pembuktian. Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara gratifikasi adalah terbatas terhadap unsur “kesalahan” atau perbuatan tersebut apakah terkait dengan suap atau tidak.
Pembalikan beban pembuktian seperti yang termuat dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang ada pada saat ini masih memiliki kelemahan karena pembuktian terbalik sebagaimana yang dimaksud masih belum bersifat imperatif. Artinya adalah keharusan pembuktian tersebut pada prakteknya dalam persidangan jarang sekali dipergunakan. Hal tersebut terjadi karena pasal 12 B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut tidak mewajibkan untuk melakukan pembalikan beban pembuktian. Alasan kelemahan ini tentu saja harus menjadi acuan penyempurnaan pengembangan hukum pidana korupsi kedepannya melalui perumusan kebijakan dalam undang-undang.
Kesimpulan
Kebijakan penegakan hukum terutama sekali terkait dengan hukum pembuktian merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana korupsi dan tindak pidana lain yang memiliki sifat kekhususan yang sama. Pembaharuan hukum pidana ini merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.[12] Secara umum terhadap tindak pidana korupsi, pembalikan beban pembuktian penting mengingat bahwa tindak pidana korupsi memang sesuatu yang sulit pemberantasannya, baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian yang sangat sulit maupun karena tindak pidana korupsi ini biasanya dilakukan oleh para professional, yang memiliki integritas, kapabilitas, dan aktivitas yang sangat rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi. Artinya adalah pelaku sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya pelacakan terhadap tindak pidana korupsi ini. Maka, dengan adanya mekanisme pembuktian yang secara substansial memiliki kekuatan berlaku dijamin oleh undang-undang akan dapat meminimalisir pengelakkan melalui kelemahan sistem pembuktian kejahatannya. Salah satu alasan pentingnya penerapan mekanisme pembalikan beban pembuktian pada gratifikasi pada dasarnya dapat mengatasi suatu praktik suap terhadap penyelenggara negara. Jika upaya penyempurnaan substansi hukum pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi acuan pembenahan politik hukum pidana, maka Kedepan diharapkan mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam perkara gratifikasi harus menjadi suatu prioritas dalam kebijakan penegakan hukum.
[1]Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), 2006, Jakarta: PT. Adika Remaja Indonesia, Hal. 87.
[2]Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsabangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung pada tanggal 19 September 2007
[3]Lawrens.M.Friedman, American Law : An Introduction, (Hukum Amerika : Sebuah Pengantar) Diterjemahkan oleh Whisnu Basuki, Jakarta : Tatanusa, 2001, hal.6-8.
[4]Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, Jakarta, PT.Grasindo, Hal.202
[5]Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Majalah Forum Keadilan, Nomor 29, April 1991, hlm. 65).
[6]Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, Majalah Hukum dan Keadilan, Nomor 5 Tahun VII, Januari- Februari 1979, Hal. 15-17.
[7]Basrief Arief, Ibid, Hal. 78.
[8]M. Yahya Harahap, op.cit, Hal. 273.
[9]Lilik Mulyadi, Alternatif Pengaturan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia Pasca Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (Kak 2003). http//wwwhukum online.com, diakses pada Tanggal 20 April 2010
[10]A.djoko sumaryanto, op.cit, Hal.75
[11]Indriyanto Seno Adji, op.cit, Hal.132-133
[12]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,2002, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, Hal.28.