BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Salah satu perkembangan yang
menonjol dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini
adalah semakin meluasnya arus globalisasi yang berlangsung baik di bidang
sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Dalam dunia
perdagangan, terutama karena perkembangan teknologi informasi dan transportasi
telah menjadikan kegiatan-kegiatan dalam sektor ini meningkat secara pesat dan
bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Dengan
memperhatikan kenyataan dan kecendrungan seperti itu, maka menjadi hal yang
dapat dipahami bila adanya tuntutan kebutuhan bagi pengaturan dalam rangka
perlindungan hukum yang lebih memadai. Apalagi beberapa negara semakin
mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang
dihasilkan atas dasar kemampuan intelektual manusia, seperti penelitian yang
menghasilkan penemuan di bidang teknologi.
Dalam kerangka perjanjian
multilateral GATT (saat ini menjadi WTO), pada bulan April 1994 di Marakesh,
Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang
paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai
sejak tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay, yang dikenal dengan Uruguay Round
antara lain memuat persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Agreement on Trade Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs).
Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya
intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Atas
Kekayaan Intelektual sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut
mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang Hak Atas Kekayaan
Intelektual secara ketat.
Sebagai
salah satu negara yang telah menandatangani persetujuan Putaran Uruguay,
Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization).
Persetujuan ini tentunya mendukung kegiatan pembangunan nasional, terutama
sejak tahun 1989, Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang Paten
nasional. Namun demikian kita belum mengetahui manfaat UU ini bagi dunia bisnis
di Indonesia.
Tinjauan
masalah
1.
Apa-apa sajakah yang dapat menjadi objek
paten?
2.
Dapatkah makhluk hidup menjadi objek
dari paten?
BAB
II
TINJAUAN
UMUM
A.Sejarah
Perkembangan Pengaturan Hak Paten
Hak
Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu halyang baru diIndonesia. Sejak
zaman Pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang
tentang hak kekayaan intelektual yang sebenarnyamerupakan peraturan
pemberlakuan undang-undang pemerintahan Hindia-Belanda yang berlaku dinegeri Belanda,
diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip
konkordansi.
Pada masa itu,bidang hak kekayaan intelektual
mendapat pengakuan baru di 3 (tiga) bidanghak kekayaan intelektual, yaitu
bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan industri, serta Paten.
Adapun peraturan
perundang-undangan Belanda bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut
1. Auterswet
1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak
Cipta;S.1912-600).
2. Reglement
Industriele Eigendom kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial
1912; S.1912 jo.S.1913-214).
3. Octrooiwet
1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S.1922-54).
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada saatitu adalah
bersifat pluralistis sesuai dengan golongan penduduknya, sehingga ada peraturan
perundang-undangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputera
(Indonesia), ada pula peraturan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
secara khusus dibuat untuk orang-orang Bumiputera (Indonesia). Peraturan
perundang-undangan Eropa dibidang Hak Kekayaan Intelektualyang diatur dalam Reglement
Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial
1912; S.1912-545 jo.S.1913-214), Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak
Pengarang 1912,Undang-Undang Hak Cipta, S.1912-600) danOctrooiwet1910
(Undang-UndangPaten 1910; S.1910-33, yis s.1911-33, S.1922-54), merupakan
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan
Eropa, melainkan juga berlaku untuk golonganbukan Eropa. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual merupakan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi semua golongan penduduk
Indonesia.
SetelahIndonesia merdeka,
berdasarkan Pasal 2 Aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945,maka ketentuan peraturan
perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demihukum
diteruskan keberlakuannyasampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang
baru hasil produksi legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka,
tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai peraturan
perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya
dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada Pahun 1961, disusul dengan
Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1982, dan Undang-Undang Paten Tahun 1989.
Lahirnya
perundangan mengenai paten tidak lepas dari kepentingan perdagangan (ekonomi).
Peraturan paten Venesia tahun 1474 memuat aturan yang mewajibkan penemu untuk
mendaftarkan penemuannya dan orang lain dilarang meniru atau memproduksinya
selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tanpa izin.
Hak paten atau hak oktroi telah
diadakan sejak abad ke-14 dan ke-15, misalnya di Italia dan Inggris. Akan
tetapi, sifat pemberian hak tersebut pada waktu itu tidak/ bukan ditujukan atas
suatu pendapatan (uitvinding), namun lebih diutamakan untuk menarik para
ahli dari luar negeri. Maksudnya, agar para ahli menetap di negara-negara yang
mengundangnya untuk mengembangkan keahliannya masing-masing di negara
pengundang dan bertujuan untuk kemajuan warga/penduduk dari negara yang
bersangkutan. Jadi oktroi itu bersifat sebagai semacam “izin menetap”. Namun
demikian memanglah kehadiran inventor tadi di negeri yang baru didasarkan atas
keahliannya dalam bidang tertentu, karena itu ia boleh tinggal menetap. Jadi
ada juga kesamaannya dengan penggunaan istilah paten dewasa ini. Royaltinya
ketika itu ia boleh tinggal di negara dengan perlakuan khusus, karena ia dapat
memberikan kontribusi positip bagi kemajuan rakyat di negeri tersebut.
Baru
pada abad ke-16, diadakan peraturan pemberian hak paten/oktroi bagi hasil-hasil
pendapatan (uitvinding), yaitu negara-negara Venesia, Inggris, Belanda,
Jerman, Austria, dan lain-lain negara. Hak paten atau hak oktroi itu bersifat
semacam “izin menetap”. Jadi, berbeda dengan pemakain pengertian materil
istilah itu pada dewasa ini.
Kemudian melalui perkembangan waktu
dan kemajuan teknologi, terutama pada abad ke-20, sifat pemberian paten/oktroi
bukan lagi sebagai hadiah, melainkan pemberian hak atas suatu temuan yang
diperolehnya. Perkembangan semacam itu terjadi di negara-negara Amerika Utara dan
Amerika Selatan. Kemudian di negara Amerika Serikat terbentuk undang-undang
paten yang tegas mengubah sifat pemberian hak paten/oktroi itu. Lalu diikuti
oleh negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda dan Rusia. Kini pada abad
ke-20 peraturan perundangan lembaga paten hampir meliputi semua negara termasuk
kawasan asia.
Kalau dilihat dari perkembangan
pengaturan peraturan perundang-undangan paten itu, Inggris mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan undang-undang paten di banyak negara di dunia.
Sebab, di negara Inggris pertumbuhan hak paten sangat baik sekali. Kemungkinan
pengaruh itu sebagai akibat kedudukan Inggris sebagai negara induk penjajah
sampai pada abad pertengahan abad ke-20 dan satu dua abad sebelumnya, mempunyai
banyak tanah jajahan yang membawa pengaruh hukum pula kepada wilayah kolonial
tersebut.
Sebagaimana
diketahui, undang-undang yang ada yaitu Octrooiwet 1910 S Nomor 33 yis S
11-136, S 22-54 mulai berlaku 1912 telah dinyatakan tidak berlaku oleh pihak
yang berwajib, karena ketentuan-ketentuan dan pengaturan yang terdapat dalam
undang-undang tersebut dirasakan tidak serasi dengan suasana Negara merdeka.
Ketentuan menurut peraturan tersebut bahwa permintaan octrooi di wilayah
Indonesia diajukan melalui Kantor Pembantu di Jakarta yang selanjutnya
diteruskan ke Octrooiraad di negera Belanda. Terang keadaan ini tidak
dapat diterima/dipertahankan karena akan bertentangan dengan kedaulatan Negara
Republik Indonesia yang merdeka. Sementara itu, Menteri Kehakiman Republik
Indonesia melalui pengumumannya tanggal 12 Agustus 1953 Nomor J.S.5/41/4 B.N.55
memberikan upaya yang bersifat sementara, yaitu berupa permohonan sementara
pendaftaran octrooi mulai tanggal 1 November 1953.
Akan
tetapi, keadaan yang bersifat sementara itu tetap berlaku sampai sekarang dan
belum ada peraturan yang bersifat defenitif positip. Karena tetap dalam keadaan
berlarut-larut, lebih dari 23 tahun sifat “kesementaraannya” maka sudah tiba
waktunya untuk tidak menunda-nunda lagi dikeluarkannya peraturan perundang-undangan
octrooi atau Paten Nasional yang bersifat modern. Artinya, disesuaikan dengan
keadaan perkembangan pembangunan yang nyata.
Pengaruh
perkembangan teknologi sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari dan dalam
beberapa dasawarsa akhir-akhir ini, perkembangan tersebut sangat pesat.
Perkembangan itu tidak hanya di bidang teknologi tinggi seperti komputer,
elektronika, dan bioteknologi, tetapi juga di bidang mekanik, kimia atau
lainnya. Bahkan, sejalan dengan itu, makin tinggi pula kesadaran masyarakat untuk
meningkatkan pendayagunaan teknologi yang sederhana.
Bagi
Indonesia, sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah,
pentingnya peranan teknologi merupakan hal yang tidak terbantah. Namun,
perkembangan teknologi tersebut belum mencapai sasaran yang diinginkan. Hal ini
diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (sekarang program pembangunan jangka
panjang), dimana pengembangan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam
kegiatan ekonomi, sosial dan budaya sehingga belum memperkuat kemampuan
Indonesia dalam rangka menghadapi persaingan global. Untuk meningkatkan
perkembangan teknologi, diperlukan adanya suatu sistem yang dapat merangsang
perkembangan teknologi dalam wujud perlindungan terhadap karya intelektual,
termasuk paten yang sepadan.
Dalam
kaitan itu, Indonesia telah memiliki undang-undang paten, yaitu Undang-Undang
No.6 tahun 1989 Tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39) jo
Undang-Undang No.13 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Undang-Undang Paten- lama),
dan pelaksanaan paten telah berjalan, dipandang perlu melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Paten- lama. Disamping itu, masih ada beberapa aspek
dalam Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya
disebut persetujuan TRIPs) yang belum ditampung dalam Undang-Undang Paten
tersebut. Seperti diketahui, Indonesia telah meratifikasi Agreement
Establishing the world trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia) selanjutnya disebut World Trade Organization (lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 57) dan persetujuan TRIPs merupakan salah satu lampiran dari
perjanjian ini. Oleh sebab itu maka Undang-Undang Paten-Lama diubah ke
Undang-Undang N0.14 Tahun 2001 Tentang Paten.
Mengingatlingkup
perubahan serta untuk memudahkan penggunaannyaoleh masyarakat, Undang-Undang
Paten No. 14 Tahun 2001 disusun secaramenyeluruh dalamsuatu naskah (
single
teks) pengganti Undang-undang Paten-Lama. Dalamhal ini, ketentuan dalam Undang-undang
Paten lama yang substansinya tidak diubah dituangkan kembali dalam
undang-undang ini
.
B. Pengertian
Paten dan jenis Paten yang Dikenal Saat Ini
Pengertian Paten
Paten adalah bagian dari hak
kekayaan intelektual, yang termasuk dalam kategori hak kekayaan perindustrian
(Industrial
Property Right). Hak Kekayaan
Intelektual itu sendiri merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud
(benda immateril). Secara juridis pengertian benda merupakan sesuatu yang dapat
menjadi objek hak, sedangkan yang dapat menjadi objek hak itu tidak hanya benda
berwujud tetapi juga benda tidak berwujud. Istilah Paten berasal dari bahasa
latin, yaitu dari kata
Auctor yang berarti dibuka, bahwa suatu penemuan
yang mendapat paten menjadi terbuka untuk diketahui oleh umum. Di beberapa
negara, istilah yang diberikan kepada Paten berbeda-beda, walaupun pada
dasarnya pengertiannya sama. Seperti di Indonesia dikenal dengan istilah Paten
dan Oktroi, dalam bahasa Inggris dikenal dengan
Patent, dan bahasa
Belanda dikenal dengan
Octrooi. Ketiga istilah ini diartikan sebagai
suatu hak khusus berdasarkan undang-undang yang diberikan kepada si pendapat
atau pencipta
(uitvider) atau menurut hukum pihak yang berhak
memperolehnya
(derechtverkrijgende) atas permintaannya yang diajukan
kepada pihak penguasa, bagi pendapatan baru, perbaikan atas pendapatan yang
sudah ada, cara bekerja baru atau menciptakan suatu perbaikan baru dari cara
bekerja, untuk selama jangja waktu tertentu.
Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Paten berasal dari bahasa Eropa
(Paten/Oktroi)
yang berarti suatu surat perniagaan atau izin dari pemerintah yang
menyatakan bahwaorang atau perusahaan bolehmembuat barang hasilpendapatannya
sendiri (orang lain tidak bolehmembuatnya)
Paten
dalam Undang-Undang paten No.14 Tahun 2001 dirumuskan sebagaiberikut ”paten
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil
invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya”
Hak
itu disebut bersifat eksklusif, karena hanyainventor yang menghasilkan invensi
sajayang dapat diberikan hak, namun ia dapat melaksanakan sendiri invensinya
tersebut atau memberi persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Yang
dimaksudkan oleh pembuat undang-undang sebagai haknya, yaitu berupa ide yang lahir
dari penemuan tersebut. Jadi bukan hasil dalam bentuk produk materil, bukan
bendanya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan itu adalah idenya, maka pelaksanaan
dari ide itu yang kemudian membuahkan hasildalam bentuk benda materil. Ide itu sendiri
merupakan benda immaterial yang lahir dari proses intelektual manusia.
Oleh karenaitu, dapat disimpulkan bahwa
paten diberikan bagi invensi dibidang teknologi dan teknologi yang pada
dasarnya adalah berupa ide (immateril) yang dapat diterapkan dalam proses industri.
Dalam pemberian hak eksklusif, salah
satu halyang sangat perludiperhatikanadalah invensinya.Karena ide yangadadalam
invensiinilah yangdiberikan hak eksklusif terhadap inventor.
Objek
dan Subjek paten
Apabila
kita berbicara tentang objek, maka itu tidak dapat terlepas dari pembicaraan
tentang benda. Jika hal ini kita kaitkan dengan paten, maka objek tersebut
adalah suatu tak berwujud, oleh karena paten itu adalah benda tak berwujud yang
merupakan bagian dari hak atas kekayaan perindustrian.
Mengenai
subjek paten pasal 10 undang-undang paten no 14 tahun 2001 menyebutkan:
1.
Yang berhak memperoleh paten adalah
inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan.
2.
Jika satu invensi dihasilkan oleh
beberapa orang secara bersama-sama hak atas invensi tersebut dimiliki secara
bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.
Dalam
pasal 11 undang-undang no 14 tahun 2001 disebutkan: “kecuali terbukti lain, yang dianggap sebagai inventor
adalah seseorang atau beberapa orang yang pertama kali dinyatakan sebagai
inventor dalam permohonan.
Subjek
paten atau orang yang berhak memiliki hak paten adalah individu, maupun
kelompok individu. Dalam konteks kelompok individu, hak paten dimiliki
bersama-sama, kecuali diperjanjikan lain oleh para pihak. Artinya jika terdapat
perjanjian antar individu tersebut untuk memberikan hak paten kepada salah satu
atau beberapa dari kelompok tersebut untuk memiliki hak paten, maka hak
tersebut menjadi milik orang yang dipersetuji sebelumnya berdasarkan suatu
perjanjian.
Dalam
hal suatu penemuan merupakan suatu penemuan yang dilakukan oleh sebuah Tim dari
institusi tertentu, maka hak tersebut menjadi milik institusinya, kecuali
diperjanjikan lain. Prinsip lain yang penting untuk dikemukakan adalah, jika
suatu penemuan merupakan hasil kerja seserang atau kelompok yang sebelumnya
menerima pekerjaan dari orang lain atau institusi lain, maka hak paten atas penemuan
tersebut merupakan milik pihak yang memberi pekerjaan, kecuali diperjanjikan
sebelumnya.
Paten
merupakan hak yang akan diberikan, jika adanya permohonan si penemu kepada
institusi berwenang, di Indonesia melalui Dirjen HAKI Dephuk dan Ham. Permohonan
tersebut memerlukan proses formalisasi, termasuk memerlukan biaya permohonan.
Bahkan jika hak paten tersebut tealh didaftarkan, maka pemegang hak harus
membayar iuran tahunan, setiap tahun selama 20 tahun sesuai durasi hak paten
yang diberikan kepadanya.
Selain
melalui permohonan yang dilakukan oleh si pemohon hak paten, pemerintah juga
memiliki kewenangan untuk mendaftarkan ak paten tersebut. Pemerintah dapat
mengambil inisiatif ini jika beranggapan bahwa hak tersebut urgen dan mendesak
untuk dipetenkan. Pematenan penemuan tersebut biasa dilakukan dalam kaitan
penemuan yang menyangkut kepentingan negara, seperti produk pertahanan dan
keamanan.
Pematenan
yang dilakukan oleh pemerintah tetap mencamtumkan nama pemegang paten, tanggal
penemuan dan sebagainya sebagaimana kewajiban pendaftaran hak tersebut oleh
individu, maupun institusi non-pemerintah. Namun demikian ada hal yang istimewa
jika hak paten tersebut didaftarkan oleh pemerintah, yaitu pemegang hak akan
diberikan intensif oleh pemerintah.
Paten
terhadap Makhluk hidup
Paten
adalah pemerintah memberikan jaminan bahwa penemu dengan hak eksklusif untuk menggunakan,
menjual atau memproduksi sebuah penemuan untuk jangka waktu tertentu. A patent is usually granted for 20 years.
Paten biasanya diberikan selama 20 tahun. Patents
should be granted only to human inventions, not discoveries.Paten harus
diberikan hanya untuk penemuan manusia, bukan penemuan. Existing living organisms - plants and animals as well as
their genes - are no-one's invention and should therefore never be patented and
put under private control. Ada makhluk hidup - tumbuhan dan hewan serta
gen mereka - tidak ada penemuan dan karena itu seharusnya tidak pernah
dipatenkan dan diletakkan di bawah kendali swasta. However, over the past decades patents on plants and animals as
well as genes and parts of human bodies have been repeatedly granted by the
patent offices of industrialised countries.Namun, selama dekade terakhir
paten pada tanaman dan hewan serta gen dan bagian tubuh manusia telah berulang
kali diberikan oleh kantor paten dari negara-negara industri.
Patenting of GE organisms
allows industry to take control of and exploit common organisms and genetic
material as exclusive private property that can be sold to or withheld from
farmers, breeders, scientists and doctors. Mematenkan
organisme memungkinkan industri untuk mengendalikan dan memanfaatkan organisme
umum dan materi genetik sebagai milik pribadi eksklusif yang dapat dijual atau
dipotong dari petani, peternak, ilmuwan dan dokter. Technology agreements and fees on seeds, facilitated by patents,
deprive farmers of their generations-old right to freely replant and exchange
their seeds. perjanjian Teknologi dan biaya pada bibit, difasilitasi
oleh hak paten, menghilangkan petani dari hak mereka generasi-tua untuk menanam
kembali dan pertukaran bebas benih mereka.
Sampai
saat ini, tidak mungkin bagi organisme hidup paten, yang selalu dianggap
sebagai penemuan alam dan karenanya unpatentable. In 1980, however, this all changed. Pada tahun 1980,
bagaimanapun, ini semua berubah. In the
landmark case of Diamond versus Chakrabarty, the US Supreme Court ruled that a
living organism, a bacterium that could digest oil, could be patented.
Dalam kasus tengara dari Diamond versus Chakrabarty, Mahkamah Agung AS
memutuskan bahwa sebuah organisme hidup, bakteri yang bisa mencerna minyak,
bisa dipatenkan.
Chief Justice Warren Burger declared that the
"relevant distinction is not between animate and inanimate things but
whether living products could be seen as human-made inventions".
Chief Justice Warren Burger menyatakan bahwa perbedaan "yang relevan tidak
antara hidup dan mati hal tapi apakah hidup produk bisa dilihat sebagai
penemuan buatan manusia". This
extraordinary decision by the US Supreme Court heralded a new era in which
living organisms could be patented, and paved the way for the enclosure of the
biological commons. Keputusan ini luar biasa oleh Mahkamah Agung AS
digembar-gemborkan era baru di mana organisme hidup bisa dipatenkan, dan membuka
jalan bagi kandang milik bersama biologis.
Once a shared heritage, the
gene pool of plants, animals and humans was now a commodity waiting to be
bought and sold. Setelah
warisan bersama, kolam gen tanaman, hewan dan manusia sekarang menjadi komoditas
menunggu untuk dibeli dan dijual.
Paten yang pernah diberikan kepada makhluk hidup
·
Patents on
animal life: In 1988, a
Harvard University biologist was granted a patent for a mouse that had been
engineered for increased susceptibility to cancer. Paten pada kehidupan hewan: Pada tahun 1988, seorang ahli biologi
Universitas Harvard diberi paten untuk tikus yang telah direkayasa untuk
kerentanan meningkat menjadi kanker. The
“Harvard Oncomouse” became the first animal to be considered an invention by
the US Patent and Trademark Office. The "Harvard Oncomouse"
menjadi binatang pertama yang dianggap penemuan oleh US Patent dan Trademark
Office. It established a precedent
within patent procedures for patenting genetically modified animals. Ini membentuk preseden dalam prosedur paten untuk
mematenkan hewan rekayasa genetika. Although this research was intended to benefit human health, the
question remains about the ethics of patenting complex living beings.
Meskipun penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan manfaat kesehatan manusia,
tetap pertanyaan tentang etika paten makhluk hidup yang kompleks. The US Congress has never explicitly
addressed the question of whether animal genes and cells can be corporate
property. Kongres AS tidak pernah secara eksplisit membahas pertanyaan
apakah hewan gen dan sel dapat harta perusahaan.
·
Paten pada kehidupan manusia: Sebuah mengkhawatirkan sebagian besar aspek kehidupan adalah
paten mematenkan gen manusia, jalur sel dan jaringan. Corporate patent attorneys have lobbied the Patent
office that these “products of nature” are patentable once they have been
isolated to produce a form not found outside of a laboratory. pengacara
paten Perusahaan telah melobi kantor Paten bahwa "produk alam" yang
dipatenkan setelah mereka telah diisolasi untuk menghasilkan bentuk yang tidak
ditemukan di luar laboratorium. For example, in
1976 a leukemia patient named John Moore had surgery at the University of
California to remove his cancerous spleen. Sebagai contoh, pada tahun
1976 seorang pasien leukemia bernama John Moore menjalani operasi di University
of California untuk menghapus limpa kanker nya. The
University was later granted a patent for a cell line called “Mo,” removed from
the spleen, which could be used for producing valuable proteins.
Universitas kemudian diberi paten untuk sebuah baris sel yang disebut
"Mo," dihapus dari limpa, yang dapat digunakan untuk memproduksi
protein yang berharga. The long term commercial
value of the cell line was estimated at over one billion dollars. Nilai komersial
jangka panjang dari garis sel diperkirakan lebih dari satu miliar dolar. Mr. Moore demanded the
return of the cells and control over his body parts, but the California Supreme
Court decided that he was not entitled to any rights to his own cells after
they had been removed from his body.
Mr Moore menuntut kembalinya sel dan kontrol atas bagian-bagian tubuhnya, namun
Pengadilan Tinggi California memutuskan bahwa ia tidak berhak atas hak untuk
sel sendiri setelah mereka telah disingkirkan dari tubuhnya.
·
Paten pada tanaman pangan: petani dan konsumen di seluruh Amerika abad ini telah berjuang
melawan masuknya tanaman pangan di bawah undang-undang paten. Corporate control over plant varieties themselves has
been regarded as contrary to the interests of the general population.
kontrol Perusahaan atas varietas tanaman sendiri telah dianggap sebagai
bertentangan dengan kepentingan masyarakat umum. Patenting
plant life will also intensify the inequality between the developing and
industrialized nations. Paten tanaman hidup juga akan mengintensifkan
ketimpangan antara negara berkembang dan industri. The open exchange of seeds and plant material over the
centuries has given the US and Europe potatoes and tomatoes from Latin America,
soybeans from China, and wheat, rye and barley from the Middle East, to name
but a few. Pertukaran terbuka bibit dan bahan tanaman selama
berabad-abad telah diberikan AS dan Eropa kentang dan tomat dari Amerika Latin,
kedelai dari Cina, dan gandum, rye dan barley dari Timur Tengah, untuk
menyebutkan beberapa. The developing world has
never received compensation or recognition for these intellectual and
technological contributions. Negara berkembang telah pernah menerima
kompensasi atau pengakuan atas kontribusi intelektual dan teknologi. Patenting plant life will exacerbate this inequality.
paten tanaman hidup akan memperburuk kesenjangan ini. While centuries of
innovation by indigenous farmers have created most of the food crops grown
today, the tinkering by agribusiness entitles them to claim a plant as their
own invention, and receive all profits from its use. Sementara abad inovasi oleh petani adat telah
menciptakan sebagian besar tanaman pangan tumbuh hari ini, bermain-main dengan
agribisnis hak mereka untuk mengklaim tanaman sebagai penemuan mereka sendiri,
dan menerima semua keuntungan dari penggunaannya. This “biocolonialism” will continue the pattern of a few
transnational corporations profiting at the expense of large numbers of
indigenous farmers. Biocolonialism ini "" akan terus pola dari
beberapa perusahaan transnasional keuntungan dengan mengorbankan banyak petani
pribumi.
Penolakan terhadap paten
makhluk hidup
Gen
atau sel yang dipatenkan tidak akan berfungsi tanpa adanya mikroorganisme atau
organisme. Dengan demikian pematenan gen otomatis akan diikuti dengan pematenan
organisma yang disusupi gen tersebut. Sehingga pada akhirnya, paten juga
terjadi atas (benih) tanaman atau hewan.
Selain
itu gen atau sel yang direkayasa dalam organisme tertentu sangat mungkin
mengalami mutasi ketika diaplikasikan dalam lingkungan yang tidak relevan,
sehingga keaslian gen yang dipatenkan itu sendiri menjadi berubah tidak seperti
ketika awal dipatenkan. Ketidakstabilan sifat dan ketidakpastian keamanan gen
inilah yang juga berpotensi membahayakan organisma lain atau ling-kungan ketika
diaplikasikan. Dalam kerangka ini juga semestinya produk rekayasa genetika juga
harus ditolak, karena tidak dapat memberikan kepastian keamanan yang memuaskan.
Sementara,
pembedaan antara ‘proses biologi yang esensial’ dengan ‘proses mikrobiologi’
atau ‘proses non-biologi’ tidak memiliki dasar yang ilmiah. Tidak dapat
dikatakan bahwa proses mikrobiologi sebagai ‘sesuatu atau benda (mati)’ karena
pada hakekatnya dia adalah (proses) biologi (hidup). Maka proses mikrobiologi
semestinya juga tidak dapat dipatenkan.
BAB
III
KESIMPULAN
Paten mempunyai objek terhadap temuan atau
invensi (uitvinding) atau juga disebut sebagai invention dalam bidang teknologi
yang secara praktis dapat dipergunakan dalam bidang perindustrian. Pengertian
industri disini bukan saja terhadap industri tertentu akan tetapi dalam arti
seluas-luasnya termasuk didalamnya hasil perkembangan teknologi dalam bidang
pertanian, industri bidang teknologi peternakan, dan bahkan bidang teknologi
pendidikan.
Selain
argumentasi ‘ilmiah’ sebagaimana diuraikan diatas, beberapa prinsip lain
terhadap penolakan pematenan atas makhluk hidup adalah:
Pertama, pelanggaran etika dan
moral. Secara mendasar bahwa makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan yang khas.
Perubahan atasnya hanya dapat terjadi secara alamiah melalui proses evolusi
ribuan bahkan jutaan tahun. Maka segala bentuk rekayasa atau
intervensi yang merubah bentuk makhluk hidup secara revolusioner (tidak
alamiah) dan berbeda secara esensial dari aslinya, adalah tindakan melawan
hukum alam atau penging-karan atas ciptaan. Secara moral dan etika komodifikasi
kehidupan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, adanya upaya
privatisasi penemuan atau penciptaan yang bersifat publik. Ada banyak
penciptaan khususnya di negara berkembang menjadi milik publik. Dalam konteks
ini pematenan merupakan proses mengambil keuntungan pribadi/kelompok (egois)
atas keuntungan atau manfaat publik. Dan kecenderungan paten adalah privatisasi
atau pengakuan penciptaan individu dan mengerosi kepemilikan publik. Dalam hal
ini menjadi sangat bermasalah ketika penciptaan publik yang menyangkut manfaat
dan kehidupan orang banyak digeser menjadi manfaat atau keuntungan individu.
Hal ini bertentangan dengan asas kesejahteraan sosial.
Ketiga, pematenan atas makhluk
hidup mendorong munculnya perampokan hayati (biopiracy). Paten merupakan konsep
modern yang diintroduksikan oleh negara maju yang dalam prakteknya memberikan
aksesibilitas yang luas terhadap setiap negara untuk meman-faatkan potensi sumberdaya
alam. Maka, ketidak pahaman masyarakat lokal akan paten memberikan peluang bagi
industri atau swasta asing melakukan pematenan atas berbagai macam pengetahuan
tradisional yang ada maupun beragam hayati yang ada. Konsekuensinya pematenan
atas mahkluk hidup akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam dan
kerusakan lingkungan hidup. Dengan kata lain, mengadopsi paten atas makhluk
hidup berarti membiarkan kejahatan dan ketidakadilan sosial.