Selasa, 24 April 2012

“Fungsi Penasehat Hukum Dalam Melindungi Hak-Hak Tersangka”


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara benar (Good Governance) yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan asas kepastian hukum. Cita-cita tersebut terdapat dalam penjelasan UUD 1945 yang secara jelas memaparkan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penjelasan UUD 1945 juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kepada hukum dan bukan berdasarkan kepada kekuasaan belaka. Terciptanya hukum yang baik dan terpadu tentu tidak akan dapat tercapai dengan begitu saja. Harus dibutuhkan suatu sistem hukum yang memang dapat menjawab dan menjadi alat untuk mencapai cita–cita bangsa tersebut.
            Indonesia sebagai sebuah negara hukum harus selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia[1] (selanjutnya disingkat dengan HAM) dalam segala bentuk. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh negara sebagai bentuk perlindungan terhadap HAM adalah dengan memberi jaminan dan perlindungan agar setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dengan tidak ada kecualinya. Adanya jaminan dan perlindungan tersebut memberikan petunjuk akan pentingnya bantuan hukum guna menjamin agar setiap orang dapat terlindungi hak-haknya dari tindakan hukum yang diskriminatif sehingga apa yang menjadi tujuan negara untuk menciptakan persamaan dihadapan hukum, dapat terlaksana karena berjalannya fungsi dari bantuan hukum tersebut[2].
            Hukum acara pidana sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam proses peradilan lahir pada tanggal 31 desember 1981. saat itu masyarakat dan semua kalangan menyambutnya dengan suka cita karena KUHAP dianggap sebagai karya agung yang menjunjung tinggi dan menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perlindungan terhadap Harkat dan martabat manusia sebagaimana layaknya yang dimiliki oleh suatu negara yang berdasarkan atas hukum. tentunya dengan lahirnya KUHAP banyak sekali harapan yang timbul dari berbagai kalangan.
            Setelah beberapa tahun dilaksanakan tentunya akan timbul pertanyaan mengenai praktek pelaksaan KUHAP dewasa ini, apakah penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan adakah jaminan perlindungan hukum terhadap setiap orang yang memasuki sistem peradilan pidana mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun di lembaga pemasyarakatan. Hak asasi manusia merupakan keinsyafan terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaan yang menjadi kodrat sejak manusia lahir dimujka bumi. Sejarah hak asasi manusia bersamaan dengan sejarah lahirnya manusia yang timbul dan tenggelam sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertainya
            Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan kehidupan yang adil serta melindungi hak asasi manusia, dimana bantuan hukum yang diberikan bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal tersangkut masalah hukum guna menghindari dari segala macam tindakan-tindakan yang dapat membahayakannya atau tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Tanpa adanya bantuan hukum yang serius dari pihak-pihak yang memahami liku-liku hukum, orang-orang miskin akan terdiskriminasi dihadapan hukum, bantuan hukum akan mambantu mereka yang miskin itu untuk bisa ”berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan golongan-golongan lain yang mampu dihadapan hukum. Bantuan hukum pun akan memulihkan kepercayaan mereka yang berada dilapisan bawah itu kepada hukum, karena dengan bantuan hukum itu mereka akan didengar dan ditanggapi oleh hukum dan para penegaknya[3].
            Bantuan hukum pada dasarnya sangat dibutuhkan pada setiap tingkat pemeriksaan, terlebih terhadap terpidana yang sering sekali terabaikan hak-haknya, sering kali terpidana tidak mengetahui akan hak-hak nya hal ini dikarenakan hak-hak yang telah diatur oleh hukum tersebut tidak dilaksanakan dengan baik oleh pelaksananya karena tidak sengaja tidak dilakukan ataupun karena si terpidana tidak mengetahui akan adanya hak-hak tersebut[4]. Oleh karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan hak-hak tersangka maka saya memberi judul tulisan saya yaitu “Fungsi Penasehat Hukum Dalam Melindungi Hak-Hak Tersangka”

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah fungsi dari penasehat hukum dalam melindungi hak-hak tersangka?
2. Bagaimanakah kaitan fungsi penasehat hukum dengan sistem peradilan pidana?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Bagaimanakah Fungsi Dari Penasehat Hukum Dalam Melindungi Hak-Hak        Tersangka
            Sebelum masuk kedalam pembahasan sebaiknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai bantuan hukum. Pada masa lalu baik pada zaman penjajahan masyarakat sudah mengenal advokat dan pokrol. Demikian juga pada tahun 50an sampai sebelum G-30-S PKI, masyarakat masyarakat mengenal advokat dan pokrol yang sehari-hari berkembang menjadi “pengacara” atau “pembela”, yakni mereka yang bergerak di bidang pemberian jasa hukum sebagai profesi dan mata pencarian. Pengacara atau pembela dalam kenyataan dan dalam pengertian masyarakat adalah pemberi bantuan hukum bagi orang yang memerlukanya dengan imbalan jasa sebagai prestasi. Sifatnya lebih mirip bisnis dan komersial. Sehingga bantuan hukum yang didapat dari pengacara, pembela, advokat seperti sebuah komediti barang mewah yang hanya dapat dijangkau oleh kalangan berduit[5].
            Polemik mengenai kinerja polisi yang mengutamakan non-scientific investigation ini seolah menjadi akar budaya pola pemeriksaan bagi polisi yang menemui jalan buntu[6]. Yang lebih banyak menggunakan segala bentuk intimidasi, ancaman, kekerasan fisik maupun psikologis terhadap sesorang tersangka untuk memperoleh keterangan. Sehinga dibutuhkan bantuan hukum dalam membela hak-hak tersangka. Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasihat hukum. Sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya dimuka pengadilan[7].
            Bantuan hukum amat perlu bagi tersangka, dalam jurnal hukum online yang dipetik bila penyidik, jaksa, atau hakim mengabaikan hak tersangka mendapatkan bantuan hukum, akibatnya bisa fatal. Dalam kaitan itu, Hakim Agung Artidjo Alkostar menyarankan perlunya dibuat mekanisme bagi hakim untuk mengecek apakah tersangka/terdakwa sudah mendapatkan bantuan hukum yang layak atau belum. Mekanisme itu penting lantaran hakim tidak melihat secara langsung BAP disusun dan bagaimana penyidik mendapatkan pengakuan dari tersangka/terdakwa. Faktanya, banyak pengakuan dari terdakwa di persidangan bahwa mereka ditekan selama proses penyidikan, bahkan ada yang mengaku disiksa[8].
            Bantuan hukum juga menjadi jaminan perlindungan HAM yang terdapat dalam KUHAP dapat dilihat dari adanya 10 asas yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap HAM, antara lain sebagai berikut:
  1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan
  2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang
  3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut ataupun dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap.
  4. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabklan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi
  5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen pada semua tingkat peradilan
  6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memeproleh bantuan hukum yang semata-mata ditujukan untuk melaksanakan kepentingan pembelaaan atas dirinya
  7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukannya penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum
  8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa
  9. Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali dalam hal yang diatur oleh undang-undang
  10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
            Sehubungan dengan adanya ke 10 Asas yang menjamin perlindungan terhadap HAM dalam KUHAP tersebut, hal ini membuktikan bahwa proses peradilan pidana sangat membutuhkan adanya pemberian bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa serta terpidana yang tidak mampu dan buta hukum, sebab bantuan hukum diberikan kepada mereka yang membutuhkan dalam rangka menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia[9]. Serta untuk melakukan perubahan terhadap hukum-hukum yang tidak melindungi hak-hak rakyat didalam sebuah Negara hukum. Bahkan bantuan hukum telah menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial[10].
            Regulasi mengenai bantuan hukum sudah mulai diatur secara khusus ketika tahun 1970, hal ini dapat dilihat dengan keluarnya UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam UU tersebut menyatakan secara tegas mengenai asas-asas dan dasar dari bantuan hukum, hal ini dapat dilihat dalam pasal 35,36, dan pasal 37 dalam UU tersebut, namun kemudian undang-undang tersebut dirubah menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bantuan hukum dalam undang-undang ini diatur dalam Bab VII yakni pasal 37 sampai pasal 40 yang berbunyi sebagai berikut[11]:
1. Pasal 37
“setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”
2. Pasal 38
“dalam perkara pidana seseorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat”
3. Pasal 39
“dalam memberikan bantuan hukum sebagaimana dimaskud dalam pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan”
4. Pasal 40
”ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 dan pasal 38 diatur dalam undang-undang”
             Lebih lanjut penjabaran ketentuan yang universal mengenai hak-hak tersangka tercantum dalam KUHAP, terutama pasal 54 sampai dengan pasal 57 (yang mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukum) dan pasal 69 sampai dengan pasal 74 (mengenai tata cara penasihat hukum berhubungan dengan tersangka atau terdakwa)[12]. Misalnya saja seperti yang terdapat dalam pasal 54 Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut yang berbunyi ” guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” dari bunyi pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membela hak-hak tersangka/terdakwa, tersangka/terdakwa tersebut berhak untuk didampingi seorang atau lebih penasehat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
            Dan didalam pasal 56 KUHAP juga mengatur bahwa ”dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu diancam yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri. Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka, dan setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma”.
            Pengaturan bantuan hukum dalam KUHAP tersebut untuk memberikan kepastian akan adanya pemberian bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana mati atau lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Meskipun pengaturan bantuan hukum didalam KUHAP tersebut belum komprehensif, namun setidaknya telah cukup memberikan dasar pemahaman bahwa tersangka dan terdakwa berhak untuk mendapatkan bantuan hukum.
            Lebih lanjut pasal 69 s/d 74 KUHAP juga mengatur (hak dan tugas dari pada penasehat hukum) seperti pasal 69 yang berbunyi ”penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang ini”, dari bunyi pasal ini dapat di ambil kesimpulan guna pembelaan tersangka/terdakwa pemberi bantuan hukum (penasehat hukum) berhak untuk menghubungi tersangka/terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan hal ini dilakukan penasehat hukum guna untuk melindungi hak-hak tersangka/terdakwa. Setiap hubungan dan pembicaraan dilakukan tanpa pengawasan dari pejabat penyidik atau petugas Rutan selama pemeriksaan perkara dalam tingkat penyidikan dan penuntutan.

B. Kaitan Fungsi Penasehat Hukum dengan Sistem Peradilan Pidana
            Istilah “criminal justice system” atau sistem peradilan pidana kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Menurut Mardjono, mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menggulangi masalah kejahatan[13]. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
            Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan[14]:
  1. mencegah masyarakat menjadi korban kajahatan
  2. meneyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan dapat ditegakkan dan yang bersalah dipidana
  3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
            Tahap pemeriksaan diatur secara rinci dalam KUHAP yang pada prinsipnya memeberikan kewenangan tertentu kepada lembaga (administratif-biokratis) untuk melaksanakan sistem, mekanisme aturan, serta menjamin hak tersangka dalam proses pemeriksaan[15].
            Pada kondisi itu peradilan pidana memiliki kekuasaan luar biasa besar, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadian dan Lembaga Pemasyarakatan. Persoalanya seberapa jauh tugas pemeriksaan perkara dilaksanakan seperti harapan banyak pihak ditujukan terhadap peradilan, mampu atau tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, karena kecenderungan selama ini muncul adalah bahwa peradilan pidana lebih bersifat formal administratif/birokratis. Hal ini muncul sebagai konsekuensi dari semakin superiornya peradilan dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan fungsi administrasi peradilan untuk menanggulangi kejahatan[16].
            Menurut Satjipto Rahardjo yang dikutip oleh Anton F Susanto. Hal demikian disebabkan oleh pengaruh kontinental. Dalam administrasi keadilan tampak lebih menonjol pendekatan administrasi daripada hukum, yaitu lebih memikirkan tentang efisiensi kerja lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses mengadili tersebut. Pendekatan administrasi tersebut beberapa dekade ini terakhir ini didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem atau rancangan sistem[17].
            Jika dikaitkan dengan pendapat Romli dalam tujuan sistem peradilan pidana, maka penasehat hukum berguna untuk menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan dapat ditegakkan dan bersalah pidana. Serta mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. Hal ini membuktikan bahwa penasehat hukum membantu tersangka dalam menghadapi masalah-masalah hukum.
            Serta penasehat hukum berguna sebagai pencegah peradilan pidana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga pemasyarakatan agar tidak terjadi penyalah gunaan wewenang. Hal ini penting bagi tersangka yang tidak tahu akan hukum sehingga penasehat hukum dapat menolong tersangka. Serta dapat mempercepat administrasi di lembaga peradilan pidana yang membuat efisiensi kerja menjadi gampang dan tidak mempersulit tersangka.











BAB III
KESIMPULAN
           
            Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi penasehat hukum dalam melindungi hak-hak tersangka sudah diatur didalam KUHAP. Dari penjabaran di atas fungsi penasehat hukum dalam melindungi hak-hak tersangka adalah:
  1. mewakili tersangka  dalam menegakkan keadilan.
  2. melindungi hak asasi manusia
  3. membantu tersangka di dalam maupun di luar pengadilan
            Untuk penegakan keadilan penasehat hukum juga berperan besar, yang berguna sebagai pencegah kekuasaan yang berlebih dari para penegak hukum yang lain. Penasehat hukum menolong tersangka dari sistem administrasi yang berbelit serta mencegah tersangka menjadi korban kejahatan dari para penegak hukum. Sehingga tujuan sistem peradilan pidana dapat tercapai.        
           


                [1] Lihat Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
                [2] Aria Zurnetti, Modul Bantuan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2003, hlm. 5-6
                [3] Soetandyo Wignjosoebroto, Kebutuhan Warga Masyarakat Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta, 2007, hlm. 67-68.
                [4] Daniel panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Jakarta, 2006. hlm. 48.
                [5] Lihat, M. Yahya Harahap, Pembahasan  Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan Penuntutan edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 342.
                [6] Indriyanto Seno Adji, Humanisme dan Pembaharuan Penegak Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2009. hlm. 35.
                [7] Soerjono Soekanto, et.al., Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 21. 
                [8] Jurnal dalam www.hukumonline.com. Di akses pada tanggal 25 maret 2010 jam 19.00.
                [9] Arya Zurnetti dan Teguh Sulistya, Bantuan Hukum Sebagai Perwujudan Jaminan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum Yustisia Universitas Andalas, Padang,1996. hlm. 76.
                [10] Nur Kholis, Refleksi dan Masa Depan Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum Palembang, Palembang, 2005. hlm. 116.
                [11] Lihat Undang-Undang No 4 tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman.
                [12] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 87.
                [13] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionalisme, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 15.
                [14] Ibid.
                [15] Anton. F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 82.
                [16] Ibid., hlm 83.
                [17] Ibid.

2 komentar: