Senin, 23 Mei 2011

Problematik Pengembangan Hukum Terkait Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Tindak Pidana Gratifikasi

Problematik Pengembangan Hukum Terkait Pembalikan Beban Pembuktian

Dalam Tindak Pidana Gratifikasi

Oleh : Riki Afrizal, SH dan Harry Tyajaya, SH

Pendahuluan

Pemerintah melalui program-program kerjanya selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahterakan rakyat. Namun, upaya tersebut merupakan suatu yang sangat mustahil untuk dicapai apabila praktek korupsi masih menjadi suatu permasalahan yang tidak dapat diminimalisir dalam penegakan hukumnya. Korupsi menjadi suatu permasalahan yang terus menghantui bangsa ini karena perilaku korupsi tersebut sudah meluas dalam masyarakat baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Hal Ini dapat terlihat dari jumlah kasus korupsi yang terjadi serta mengenai cara para koruptor dalam melakukan korupsi yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan orang-orang yang memang mempunyai kompetensi dibidang hukum.

Metode penyelesaian secara konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra ordinary counter measuree).[1] Dengan sifat yang luar biasa tersebut, maka usaha untuk memberantas korupsi diantaranya diwujudkan dengan melahirkan undang-undang yang lebih tegas. Perumusan undang-undang dalam upaya penyelesaian suatu masalah hukum merupakan salah satu perwujudan unsur sistem hukum. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relations) dan kemudian membentuk struktur (structure).[2] Diantara beberapa unsur sistem hukum yang terkait dengan penegakan hukum menurut Lawrens W.Friedman[3] yaitu struktur hukum (legal sturucture), substasi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture), maka substansi hukum merupakan suatu unsur yang sangat penting sekali dibicarakan dan dikaji keefektifannya dalam menangani berbagai masalah yang diaturnya tersebut.

Substansi hukum (legal substance) yang dalam aliran positivisme hukum diartikan sebagai peraturan perundang-undangan tertulis dibuat sedemikian rupa guna memudahkan menjangkau perilaku korupsi. Secara lebih luas yang dimaksudkan substansi adalah aturan, norma, dan pola prilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum. Substansi hukum dapat juga berupa produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem tersebut, mencakupi keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.[4] Upaya untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penyempurnaan substansi hukum di Indonesia telah terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pengaturan dalam bentuk undang-undang telah dimulai sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian penyempurnaan terakhir adalah melalui undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2001 sebagai bentuk perubahan yang terbaru dari undang-undang pemberantasan korupsi mengatur beberapa hal yang merupakan pencerminan keseriusan upaya pemberantasan korupsi. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai tindak pidana gratifikasi dan pembalikan beban pembuktian. Dengan adanya pengaturan gratifikasi ini tentu saja ada hal-hal yang sangat urgen yang diharapkan dalam kebijakan legislatif perumusan bentuk tindak pidana dan pembuktiannya ini. Untuk melihat eksistensi pengaturan tindak pidana gratifikasi dan pembalikan beban pembuktian sebagai bentuk pembuktiannya sebagai upaya optimalisasi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ditinjau dari segi substansi hukum (legal substance), maka penulis akan mencoba menguraikan dalam pembahasan tulisan ini.

Pembahasan

Pengembangan pengaturan hukum pidana korupsi dalam undang-undang merupakan bagian dari politik hukum. Hal tersebut dapat dilihat dan dianalisa melaui makna politik hukum itu sendiri. Menurut Padmo Wahjono[5], politik hukum adalah kebijakan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. Soedarto[6] menyebutkan politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencari apa yang dicita-citakan. Dari dua pengertian yang disampaikan diatas maka politik hukum itu termasuk didalamnya perumusan kebijakan legislatif terhadap suatu persoalan hukum. Pemberantasan korupsi merupakan bagian dari persoalan hukum pidana yang kemudian pengatrurannya dihasilkan melalui hasil kebijakan legislatif. Sebagai upaya penyempurnaan pengaturan tentang tindak pidana korupsi, melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur delik gratifikasi yang dicantumkan dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengaturan mengenai gratifikasi ini merupakan salah satu bentuk penyempurnaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dilakukan mengingat bahwa gratifikasi merupakan salah satu delik korupsi yang tidak dapat dipungkiri realitasnya ditengah masyarakat dan substansi hukum sebelumnya belum menjangkau hal tersebut sebagai bagian dari upaya penegakan hukum.

`Pengertian Gratification atau terjemahan bebasnya adalah “pemberian hadiah yang menyenangkan…” dari seseorang kepada pejabat atau penyelenggara negara sehubungan dengan pekerjaannya,”[7] Praktek pemberian suatu materi (uang ataupun bentuk lainya) kepada pejabat negara ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun untuk mengungkapnya sebagai tindak pidana korupsi mengalami kesulitan. Kesulitan dalam mengungkap kasus gratifikasi itu disebabkan adanya kendala dalam menemukan fakta mengenai suatu keterkaitan bentuk pemberian tersebut dengan suatu jabatan serta dengan kewajiban dan tugas seseorang. Selain itu, tindak pidana gratifikasi dapat juga terjadi bersamaan dengan perbuatan suap sehingga sulitnya membedakan antara pemberian dalam bentuk gratifikasi dengan pemberian dalam bentuk suap.

Pengaturan gratifikasi dengan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian sebagai salah satu mekanisme dalam penanganan kasus korupsi secara normatif digunakan untuk mengarahkan proses peradilan pidana kepada kepastian hukum. Kepastian hukum akan dapat terwujud melalui penegakan hukum secara konsisten oleh penegak hukum. Penegakan hukum yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam tindak pidana gratifikasi diwujudkan melalui penerapan mekanisme pembuktian dalam proses peradilan pidana. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting atau titik sentral dalam proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang di benarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa[8]. Dalam hal pembuktian ada pembatasan terhadap alat-alat bukti yang ditentukan oleh hukum acara pidana yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan. Hukum acara pidana Indonesia menjelaskan pembuktian yang dianut oleh negara kita untuk membuktikan apakah seseorang bersalah atau tidak dalam melakukan suatu tindak pidana maka dilakukan dengan menggunakan sistem pembuktian negatief wettelijk.

Di Indonesia teori pembuktian yang digunakan adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie), yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang dan didukung dengan keyakinan hakim terhadap eksistensi alat bukti yang bersangkutan. Kemudian mengenai bagaimana mekanisme menjalankan alat bukti atau prosedur pembuktian, secara konvensional penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Namun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan pengecualian dengan adanya pembalikan beban pembuktian bagi tindak pidana gratifikasi. Pembalikan beban pembuktian tersebut menempatkan kewenangan membuktikan berada di tangan terdakwa. Ditetapkannya pembalikan beban pembuktian, maka menjadi beralih beban pembuktian (shifting of burden proof) dari Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Akan tetapi, walaupun pembalikan beban pembuktian dilarang terhadap kesalahan/perbuatan orang dan keseluruhan delik korupsi akan tetapi secara normatif diperbolehkan terhadap gratifikasi delik penyuapan dan perampasan harta kekayaan orang yang melakukan tindak pidana korupsi Pengecualian ini dilakukan mengingat tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa. Sifat keluarbiasaan sebagai suatu tindak pidana memerlukan perangkat hukum tertentu dan memadai, yaitu diperlukan adanya undang-undang hukum materiil dan hukum formil tertentu yang memadai pula serta dilengkapai dengan lembaga-lembaga hukum baru untuk menjangkaunya.[9] Terhadap tindak pidana korupsi dilakukan penyimpangan dalam sistem pembuktian. Hal ini bukan berarti tidak mempunyai alasan, karena pada dasarnya undang-undang pidana khusus memang menyimpang dari pidana umum termasuk dalam asas-asasnya.

Berbicara mengenai pembalikan beban pembuktian ada beberapa terminologi untuk menyebutkan asas ini yaitu dalam bahasa Indonesia sendiri digunakan istilah pembuktian terbalik, shifting of burden of proof atau reversal burden of proof dalam bahasa Inggris, omkering van de bewijslast dalam bahasa Belanda, dan onus of proof dalam istilah Latinnya. Dapat dikatakan bahwa beban pembuktian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sistem pembalikan pembalikan beban pembuktian “terbatas” atau “berimbang”. Terbatas disini adalah karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan mutlak terhadap semua delik yang ada pada undang-undang tersebut. Sedangkan berimbang maksudnya adalah bahwa pembuktian terhadap tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Jadi dapat dikatakan bahwa asas pembalikan beban pembuktian ini hanya merupakan suatu hal yang tidak mempunyai kekuatan represif terhadap tindak pidana korupsi yang ada selama ini.[10] Pada mulanya asas pembalikan beban pembuktian merupakan asas yang dipakai pada sistem hukum anglo saxon terhadap perkara tertentu. Indriyanto Seno Adji berasumsi bahwa :

“asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum (acara) pidana yang universal. Sesuai hukum pidana (formal), baik sistem Continental maupun Anglo Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada jaksa penuntut umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang deferensial, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian...”[11].

Hal ini berarti bahwa asas ini hanya diterapkan terhadap tindak pidana tertentu seperti gratifikasi. Terutama untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan suap atau tidak. Penggunaan pembalikan beban pembuktian pada perkara Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 B Ayat (1) pada huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai kewajiban pembuktian oleh terdakwa dalam gratifikasi dengan nilai Rp.10.000.000.000,- (sepuluh juta) atau lebih. Pengaturan tersebut memberikan konsekuensi yang tegas terhadap upaya memperoleh kepastian hukum. Bahwa kesulitan pembuktian terhadap tindak pidana korupsi dapat diminimalisir dengan pembuktian oleh si terdakwa bahwa dakwaan tersebut benar atau tidaknya. Namun, bukan berarti dengan demikian menghapuskan kewajiban jaksa melakukan pembuktian. Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara gratifikasi adalah terbatas terhadap unsur “kesalahan” atau perbuatan tersebut apakah terkait dengan suap atau tidak.

Pembalikan beban pembuktian seperti yang termuat dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang ada pada saat ini masih memiliki kelemahan karena pembuktian terbalik sebagaimana yang dimaksud masih belum bersifat imperatif. Artinya adalah keharusan pembuktian tersebut pada prakteknya dalam persidangan jarang sekali dipergunakan. Hal tersebut terjadi karena pasal 12 B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut tidak mewajibkan untuk melakukan pembalikan beban pembuktian. Alasan kelemahan ini tentu saja harus menjadi acuan penyempurnaan pengembangan hukum pidana korupsi kedepannya melalui perumusan kebijakan dalam undang-undang.

Kesimpulan

Kebijakan penegakan hukum terutama sekali terkait dengan hukum pembuktian merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana korupsi dan tindak pidana lain yang memiliki sifat kekhususan yang sama. Pembaharuan hukum pidana ini merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.[12] Secara umum terhadap tindak pidana korupsi, pembalikan beban pembuktian penting mengingat bahwa tindak pidana korupsi memang sesuatu yang sulit pemberantasannya, baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian yang sangat sulit maupun karena tindak pidana korupsi ini biasanya dilakukan oleh para professional, yang memiliki integritas, kapabilitas, dan aktivitas yang sangat rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi. Artinya adalah pelaku sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya pelacakan terhadap tindak pidana korupsi ini. Maka, dengan adanya mekanisme pembuktian yang secara substansial memiliki kekuatan berlaku dijamin oleh undang-undang akan dapat meminimalisir pengelakkan melalui kelemahan sistem pembuktian kejahatannya. Salah satu alasan pentingnya penerapan mekanisme pembalikan beban pembuktian pada gratifikasi pada dasarnya dapat mengatasi suatu praktik suap terhadap penyelenggara negara. Jika upaya penyempurnaan substansi hukum pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi acuan pembenahan politik hukum pidana, maka Kedepan diharapkan mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam perkara gratifikasi harus menjadi suatu prioritas dalam kebijakan penegakan hukum.



[1]Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), 2006, Jakarta: PT. Adika Remaja Indonesia, Hal. 87.

[2]Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsabangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung pada tanggal 19 September 2007

[3]Lawrens.M.Friedman, American Law : An Introduction, (Hukum Amerika : Sebuah Pengantar) Diterjemahkan oleh Whisnu Basuki, Jakarta : Tatanusa, 2001, hal.6-8.

[4]Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, Jakarta, PT.Grasindo, Hal.202

[5]Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Majalah Forum Keadilan, Nomor 29, April 1991, hlm. 65).

[6]Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, Majalah Hukum dan Keadilan, Nomor 5 Tahun VII, Januari- Februari 1979, Hal. 15-17.

[7]Basrief Arief, Ibid, Hal. 78.

[8]M. Yahya Harahap, op.cit, Hal. 273.

[9]Lilik Mulyadi, Alternatif Pengaturan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia Pasca Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (Kak 2003). http//wwwhukum online.com, diakses pada Tanggal 20 April 2010

[10]A.djoko sumaryanto, op.cit, Hal.75

[11]Indriyanto Seno Adji, op.cit, Hal.132-133

[12]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,2002, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, Hal.28.

Pengertian Perjanjian

Pengertian Perjanjian

Dalam lintas hukum, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu “overeenskomst”. Overeenskomst biasanya di terjemahkan dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan di adakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang di perjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang di perjanjikan[1].

Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih[2]." Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah:[3]

1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,

2. tidak tampak asas konsensualisime, dan

3. bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah "Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum"[4].

Kata “perbuatan” yang terdapat dalam pasal tersebut mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Dalam pasal ini juga tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa. R Setiawan mengusulkan untuk menambah kata-kata dalam perjanjian itu sebagai berikut : “perbuatan itu harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya[5]. Perumusan pengertian perjanjian menurut R Setiawan menjadi, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”[6].

Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang di berikan pasal 1313 KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing. Pengertian perjanjian menurut para sarjana tersebut antara lain :

a. R. Subekti

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal[7].

b. Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu[8].

c. Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan[9].



[1] Tim Pengajar Diklat Kemahiran Hukum Kontrak, Buku Ajar Diklat Kemahiran Hukum Kontrak, Universitas Andalas, Padang, 2005, hlm. 8.

[2] Merujuk Terjemahan BW dalam bahasa Indonesia Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

[3] Salim. HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 163.

[4] Salim HS, Ibid., hlm. 164.

[5] R Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm, 49.

[6] ibid

[7] R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal, 1

[8] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986, hal, 9

[9] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal, 225.

Tinjauan Umum Tentang Good Corporate Governance (GCG)

Tinjauan Umum Tentang Good Corporate Governance (GCG)

Pengertian, Prinsip, Tujuan serta Manfaat Penerapan Good Corporate Governance (GCG).

Secara teoritis konsep Good Corporate Governance (GCG), bukan suatu yang baru bagi manajemen korporasi, Tetapi konsep Good Corporate Governance (GCG) merupakan suatu isu yang sudah setua sejarah peradaban manusia.[1] Dimana konsep ini terus dikaji oleh pelaku bisnis, akademisi dan pembuat kebijakan lainya.

Kajian konsep Good Corporate Governance (GCG) mulai disinggung pertama kali oleh Berle dan Means pada tahun 1932, ketika membuat sebuah buku yang menganalisis terpisahnya kepemilikan saham (ownership) dan Control. Pemisahan tersebut berimplikasi pada timbulnya konflik kepentingan antara para pemegang saham dengan pihak manajemen dalam struktur kepemilikan saham yang tersebar (Dispearsed Ownership).[2] Kemudian Konsep Good Corporate Governance (GCG) juga digunakan pada tahun 1970-an ketika terdapat beberapa skandal korporasi yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa tindakan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang terlibat dalam kegiatan berpolitik yang tidak sehat serta adanya budaya korupsi.[3]

Terakhir konsep Good Corporate Governance (GCG) mulai marak diperbincangkan lagi ketika pada tahun 1992, Cadbury Committee dan Treadway Commission menerbitkan laporannya yang diikuti dengan pembentukan Code of GCG diberbagai negara.[4] Serta menjadikan Corporate Governance Code sebagai acuan utama di banyak negara.[5]

Di Indonesia konsep Good Corporate Governance (GCG) menjadi fenomena baru dalam tata kelola korporasi semenjak pasca krisis tahun 1997, yang awalnya konsep Good Corporate Governance (GCG) diperkenalkan oleh Pemerintah indonesia dan Internasional Monetery Fund (IMF) dalam rangka Economy recovery pasca krisis.[6] Kemudian konsep Good Corporate Governance (GCG) menjadi acuan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Pengertian Good Corporate Governance (GCG)

Untuk memahami konsep Good Corporate Governance (GCG), maka terlebih dahulu harus mengetahui maksud dari Good Corporate Governance (GCG):

    1. Cadbury Committee :

Sistim yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggung jawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham dan sebagainya

    1. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. KEP-117/M-MBU/2002

Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.

    1. Ernest and Young :

Sekumpulan mekanisme yang saling berkaitan yang terdiri dari atas pemegang saham intitusional, Dewan Direksi dan komisaris, para manajer yang dibayar berdasarkan kinerjanya, pasar sebagai pengendali perseroan, struktur kepemilikan, Struktur keuangan, investor terkait, dan persaingan produk.

Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Sistem tata kelola organisasi perusahaan yang baik ini menuntut dibangunnya dan dijalankannya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan (GCG) dalam proses manajerial perusahaan. Dengan mengenal prinsip-prinsip yang berlaku secara universal ini diharapkan perusahaan dapat hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para stakeholdernya.

Sejak diperkenalkan oleh OECD, prinsip-prinsip Good Corporate Governance berikut ini telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut disusun seuniversal mungkin sehingga dapat berlaku bagi semua negara atau perusahaan dan diselaraskan dengan sistem hukum, aturan atau tata nilai yang berlaku di negara masing-masing. Secara umum Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang harus diterapkan oleh perusahaan dalam rangka GCG adalah:

  1. Akuntabilitas (accountability):

Kejelesan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing organ-organ perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and proper test, sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilaksanaka secara efektif dan efisien;

Dimana dewan komisaris dan direksi beserta kewajiban-kewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.

  1. Kemandirian (independency):

Suatu keadaan, perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama pemegang saham mayoritas, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip korporasi yang sehat;

Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.

  1. Transparasi (transparancy):

Keterbukaan terhadap proses pengambilan keputusan, dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan dengan kepentingan stakeholders dan publik secara benar dan tepat waktu;

Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.

  1. Pertanggung jawaban (responbility):

Perwujudan kewajiban organ perusahaan untuk melaporkan kesesuaian pengelolaan perusahaan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan;

Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab. Sebagai pengelola perusahaan hendaknya dihindari segala biaya transaksi yang berpotensi merugikan pihak ketiga maupun pihak lain di luar ketentuan yang telah disepakati, seperti tersirat pada undang-undang, regulasi, kontrak maupun pedoman operasional bisnis perusahaan.

  1. Kewajaran (fairness):

Keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam prinsip ini Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain. Setiap anggota direksi harus melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan.

Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit antara lain dengan melakukan pemisahan tanggung jawab dan kewenangan yang disertai dengan mekanisme kerjasama antara organ-organ perusahaan, melakukan pengawasan ketika organ-organ tersebut melaksanakan tugasnya untuk menghindari adanya benturan kepentingan atau tekanan, melakukan system pengendalian internal dan eksternal yang kuat, dan pengungkapan informasi material mengenai perusahaan melalui media yang dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang brkepentingan, serta menetapkan visi, misi, tujuan, dan strategi yang jelas sehingga kinerja perusahaan maupun konstribusi masing-masing individu dapat dinilai secara objektif.



[1] Soesilo J. Leo dan Karlen Simarmata,” Good Corporate Governance (GCG) pada Bank”,( Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam Melaksanakannya),PT. Hikayat Dunia, Bandung: 2007, Hal. 16.

[2] Surya.Indra dan Ivan Yustiavandana,”Penerapan Good Corporate Governance” (Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha), Kencana Prenada Media Group, Jakarta : 2006. Hal, 24.

[3] Khairandi Ridwan dan Camelia Malik, “Good Corporate Governance (GCG)”,(Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum), Kreasi Total Media, Yogyakarta :2007, Hal 60.

[4] Soesilo J. Leo dan Karlen Simarmata, Lock Cit, Hal 16

[5] Surya.Indra dan Ivan Yustiavandana, Lock cit, Hal 24.

[6] Khairandi Ridwan dan Camelia Malik, Lock Cit, Hal 60.