Kamis, 03 Desember 2009

Kredit Sindikasi

KREDIT SINDIKASI

A. Pengertian
Harus dibedakan antara “sindikasi kredit” atau loan syndication dan “kredit sindikasi” atau syndicated loan. Sindikasi kredit adalah suatu sindikasi yang peserta – pesertanya terdiri dari lembaga – lembaga pemberi kredit yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kredit kepada suatu perusahaan yang memerlukan kredit untuk membiayai suatu proyek. Sedangkan yang dimaksud dengan kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan oleh sindikasi kredit.
Stanley Hurn dalam bukunya Syndicated Loan : A Handbook for Banker and Borrower memberikan definisi mengenai kredit sindikasi sebagai berikut :
A syndicated loan is a loan made by two or more lending institution, on
similar terms and condition, using common documentation and administered by
common agent.2
Definisi tersebut diatas mencakup semua unsur – unsur yang penting dari suatu kredit sindikasi. Pertama, kredit sindikasi melibatkan lebih dari satu lembaga pembiayaan dalam suatu fasilitas sindikasi. Kedua, definisi tersebut menyatakan bahwa kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan berdasarkan syarat – syarat dan ketentuan – ketentuan yang sama bagi masing – masing peserta sindikasi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hanya ada satu perjanjian kredit antara nasabah dan sebuah bank peserta sindikasi. Ketiga, definisi tersebut menegaskan bahwa hanya ada satu dokumentasi kredit, karena dokumentasi inilah yang menjadi pegangan bagi semua bank peserta sindikasi secara bersama-sama. Keempat, sindikasi tersebut diadministrasikan oleh satu agen (agent) yang sama bagi semua bank peserta sindikasi. Bila tidak demikian halnya, maka terpaksa harus ada serangkaian fasilitas bilateral (dua pihak), yang sama tetapi mandiri, antara masing – masing bank peserta dengan nasabah.
Kredit yang berbentuk sindikasi atau kredit patungan yang dilakukan oleh bank ini, berbeda dari kredit – kredit yang biasa diberikan oleh bank kepada nasabahnya.
B. Ciri - Ciri Utama Kredit Sindikasi
Ada beberapa ciri – ciri utama dari suatu kredit sindikasi yang perlu diketahui. Ciri – ciri tersebut adalah :
1. Terdiri atas lebih dari satu pemberi kredit
Kredit sindikasi selalu diberikan oleh lebih dari satu pemberi kredit sebagai peserta dari sindikasi kredit.
2. Besarnya jumlah kredit
Kredit sindikasi adalah suatu teknik bagi suatu bank untuk dapat menyebarkan resiko dalam pemberian kredit. Oleh karena itu biasanya tidak cocok untuk kredit yang jumlahnya kecil, dimana tidak ada alasan bagi bank tersebut untuk tidak membiayai sendiri seluruh jumlah kredit yang kecil itu.
Namun ada keadaan – keadaan dimana suatu pinjaman mencapai suatu jumlah sedemikian rupa besarnya sehingga dirasakan terlalu besar bagi bank tersebut untuk dapat memikulnya sendiri. Apabila bank tersebut merasa bahwa resikonya terlalu besar bagi bank tersebut bila seluruh permintaan sesuatu nasabah tertentu dipikul sendiri, sekalipun mungkin dari segi ketentuan legal lending limit atau batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dari bank tersebut belum terlampaui.
3. Jangka waktu
Pada umumnya kredit sindikasi berjangka waktu menengah (medium term) atau berjangka waktu panjang (long-term), sekalipun tidak ada alasan mengapa tidak mungkin kredit sindikasi diberikan juga dalam jangka waktu pendek (short-term). Dalam termonologi kredit sindikasi belum ada kesamaan mengenai apa yang dimaksudkan short, medium dan long. Namun pada umumnya short berarti sampai dengan 1 tahun, medium berarti antara 1- 5 tahun dan long berarti diatas 5 tahun.
4. Bunga
Pada umumnya bunga dari kredit sindikasi bersifat mengambang (floating rate) yang disesuaikan setiap jangka waktu tertentu, misalnya setiap 3 bulan sekali. Untuk menetapkan bunga kredit sindikasi dalam kurs rupiah yaitu berpatokan pada JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate). Sekalipun bunga dari kredit sindikasi bersifat mengambang (floating rate), namun dimungkinkan pula bagi pemberian kredit sindikasi dengan bunga yang tetap sepanjang jangka waktu kredit.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 6/11/PBI/2004, JIBOR adalah bank-bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang menjadi acuan dalam menetapkan suku bunga JIBOR.
5. Tanggung jawab berbagi
Meskipun suatu fasilitas kredit sindikasi adalah suatu totalitas dan bukannya kombinasi dari sejumlah fasilitas bilateral, namun bertanggung jawab dari masing – masing bank peserta dalam sindikasi itu tidak bersifat tanggung renteng. Artinya, bahwa masing – masing bank peserta hanya bertanggung jawab untuk bagian jumlah kredit yang menjadi komitmennya. Tanggung jawab dari masing – masing bank di dalam sindikasi tidak merupakan tanggung jawab dimana suatu bank menjamin bank lainnya.
6. Dokumentasi Kredit
Dokumentasi kredit (loan documentation) yang sama bagi semua peserta sindikasi merupakan ciri yang penting dari suatu kredit sindikasi. Dokumentasi kredit tersebut adalah dasar bagi administrasi kredit sindikasi tersebut selama jangka waktunya. Untuk mencapai
keseragaman dalam pelaksanaannya di antara bank – bank peserta sindikasi, maka ditunjuklah satu bank diantara bank – bank peserta itu sebagai agen (agent bank) untuk bertindak sebagai kuasa dari bank–bank peserta sindikasi dengan tugas mengadministrasikan kredit tersebut setelah perjanjian kreditnya ditandatangani.
7. Publisitas
Ciri lain yang membedakan antara pinjaman bilateral dengan kredit sindikasi adalah keharusan bagi kredit sindikasi itu untuk dipublikasikan (diketahui oleh umum). Publisitas ini dilakukan setelah perjanjian kredit sindikasi ditandatangani.

C. Manfaat Kredit Sindikasi
Manfaat bagi bank
Kredit sindikasi merupakan salah satu jalan bagi bank untuk memenuhi permintaan kredit dari nasabah yang jumlahnya besar, meskipun bank mempunyai kemampuan untuk memikul sendiri seluruh jumlah kredit tersebut. Ataupun sebaliknya jika bank tidak sanggup memenuhi permintaan kredit dari nasabah yang jumlahnya besar, bank tidak akan kehilangan nasabahnya itu. Sebagaimana telah dikemukakan, pembentuka sindikasi dalam pemberian kredit memungkinkan bagi suatu bank untuk mengatasi masalah batas maksimum pemberian kredit (BMPK) atau legal lending limit.
Apabila permintaan kredit yang diajukan oleh nasabah bank sedemikian besar jumlahnya sehingga tidak mungkin dibiayai seluruhnya oleh bank itu sendiri, dan apabila bank tersebut tidak dapat mengajak bank lain untuk ikut membiayai permintaan nasabahnya itu, maka tentu saja bank tersebut terpaksa harus melepaskan nasabahnya itu.
Kredit sindikasi memungkinkan bagi suatu bank untuk menyebarkan resiko dengan cara berbagi resiko dengan bank – bank lain. Hal ini apabila terjadi kredit macet, maka kerugian bank tidak akan terlalu besar karena hanya sebesar jumlah kredit yang diberikannya.
§ Manfaat bagi nasabah
1. Apabila bank tersebut tidak bersedia untuk memberikan kredit yang terlalu besar kepada seorang nasabah, maka sindikasi merupakan jalan keluar bagi nasabah tersebut.
2. Kredit sindikasi memungkinkan bagi nasabah untuk memperoleh kredit yang berjumlah besar tanpa harus berhubungan dengan banyak bank.
3. Kredit sindikasi memungkinkan bagi suatu nasabah untuk memupuk record dengan banyak bank melalui pengaturan oleh banknya sendiri yang bertindak sebagai arranger untuk kredit sindikasi itu.
4. Kredit sindikasi menambah kredibilitas dari nasabah tersebut. Lebih – lebih lagi apabila para peserta sindikasi terdiri dari bank – bank besar ternama.

Rabu, 02 Desember 2009

Otonomi Daerah Dalam era Reformasi

Otonomi Daerah Dalam era Reformasi



Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 yang disusul dengan UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. UU No 22 Tahun 1999 mulai berlaku 7 Mei 1999, lebih terkenal dengan nama UU Otonomi Daerah 1999, lahir sebagai pelaksanaan ketetapan MPR RI No XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan juga di bawah rangka UUD 45.
Seperti proses lahirnya beberapa UU Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, juga UU No 22 Tahun 1999 ini terkesan merupakan pergeseran pendulum dari satu ekstrim yang satu ke satu ekstrim yang lainnya, sesuai dengan kondisi politik saat itu. UU No 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran pendulum yang cukup drastis dari kondisi sentralistis kea rah desentralisasi yang lebih luas.

A. Latar belakang situasi dan suasana pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lahir dalam suasana hiruk pikuk reformasi dan menandai perubahan rezim Orde Baru.
Ditengah-tengah maraknya arus reformasi setelah tumbangnya rezim Soeharto, menuntut pelaksanaan demokrasi dari Pusat sampai Daerah. Untuk itu maka DPR dan DPRD harus berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalankan kontrol dan pengawasan terhadap pihak eksekutif.
Merealisasi tuntutan diatas, maka dibentuklah undang-undang yang intinya merombak paradigma pembangunan ekonomi kearah pembangunan yang serasi di semua bidang termasuk peran legislatif dan yudikatif.
Sistem kenegaraan yang selama orde baru bertitik berat pada peran eksekutif (executive heavy) yang dominant, kini bergeser kea rah pemberdayaan bidang legislatif secara proporsional sehingga dapat mengontrol dan mengawasi pihak eksekutif dari pusat sampai daerah.
Mengakhiri dominasi Presiden sebagai Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal itu, terutama di Daerah, dibuatlah undang-undang yang materinya membatasi kewenangan Kepala Daerah dan memantapkan kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai badan perwakilan rakyat yang memiliki kekuatan seimbang dengan Kepala Daerah atau bahkan terkesan penjungkir balikan rumusan pasal 13 UU nomor 5 Tahun 1974. ada kesan, peran legislatif lebih dominant berhadapan dengan peran eksekutif.
Kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. DPRD memilih dan menetapkan Kepala Daerah, sedangkan Presiden hanya mengesahkan sebagaimana sarana administratif. Dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah melalui persyaratan perundang-undangan.

B. Asas pemerintahan yang digunakan sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 secara formal menggunakan asas desentralisasi, dengan memperkuat fungsi DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah. DPRD mempunyai kewenangan memilih dan memberhentikan Kepala Daerah.
Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 hanya menunjuk Gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi di samping desentralisasi. Undang-undang ini juga mengatur asas pembantuan hingga pengaturan tentang Pemerintah Daerah.

C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah sesuai UU nomor 22 Tahun 1999

Sesuai isi UU nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk itu, dirumuskan:
1. Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bersifat otonomi.
2. daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU No 22 Tahun 1999)
3. daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Adapun Susunan Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:
a. Kepala Daerah Provinsi (Gubernur), Kepala Daerah Kabupaten (Bupati), Kepala Daerah Kota (Walikota), Camat, Lurah/Kepala Desa.
b. Di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan Eksekutif Daearah.
c. Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya.
d. DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah daerah.
e. Dalam menjalankan tugasnya, gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi, bupati dan walikota bertanggun jawab kepada DPRD kabupaten/kota.

D. Kewenangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di rumuskan dalam pasal 7-13 tentang kewenanga daerah dengan rinci dan intinya:
• Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lain (pasal 7 ayat 1)
Kewenangan lain sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pemberian dan pemberdayaan sunber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
• Kewenanga Pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
• Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
• Daerah tidak saja berwenang di wilayah darat, tetapi juga di wilayah laut.
• Dalam hal pelaksanaan dekonsentrasi provinsi sebagai wilayah administratif mendapat kewenangan yang ditempatkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintahan
• Tugas pembantuan pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertemtu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan mempertanggung jawabkannya kepada Pemerintah.

E. Prinsip Otonomi yang dianut UU No 22 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengganti prinsip otonomi Orde Baru dengan
1. Otonomi luas, nyata , dan bertanggung jawab
2. Penyelenggaraan otonomi memperhatikan aspek demokrasi, partisipasif, adil dan merata dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
4. Otonomi provinsi bersifat terbatas, sekaligus menjalankan fungsi dekonsentrasi

F. Ketentuan tentang keuangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999 jo UU 25 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan antara pusat dan daerah. Peraturan daerah tidak lagi memerlukan pengesahan dari pemerintah pusat.
Sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (pasal 79). Sesuai isi pasal 6 UU No 25 Tahun 1999, dana perimbangan terdiri:
1. Bagian daerah dari penerimaan PBB dan penerimaan dari sumber daya alam;
2. Dana Alokasi Umum;
3. Dana Aloasi Khusus.
Adapun pembiayaan tugas Pemerintahan Daerah dan DPRD di biayai dari dan atas beban APBD ( pasal 78 ayat1)
Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari atas beban APBN ( pasal 78 ayat 2)
Pengesahan APBD dalam bentuk Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan.

G. Hubungan pengawasan pemerintah pusat terhadapan daerah sesuai UU No 22 Tahun 1999

Berbeda dengan sistem pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah dalam Undang-undang 22 Nomor 5 Tahun 1974, yang terdiri dari pengawasan umum, preventif dan represif, maka sebagai koreksi atas sifat otonomi yang sentralistik maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, hanya mengenal pengawasan represif.
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan berupa pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Daerah yang tidak bisa menerima keputusan pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukan kepada Pemerintah.
Dari pengalaman kita mencatat bahwa ribuan peraturan daerah terpaksa ditunda atau dibatalkan karena bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal itu timbul karena semangat reformasi yang salah kaprah dan kurang memahami sistem perundangan-undangan yang sudah ada, dengan alasan demi penimgkatan pendapatan asli daerah.

H. Pengaturan Daerah

Sejak lahirnya Undang-undang Desentralisasi 1903, hingga ketika Indonesia merdeka dengan Undang-Undang Dasar 1945, mengakui esitensi desa atau dengan nama lain, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaturan otonomi daerah. Kalau pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pengaturan desa ditempatkan dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi kedua undang-undang tersebutmerupakan kondisi yang saling melengkapi sebagai pengaturan pemerintahan daerah.
Undang-undang No 22 Tahun 1999 dalam ketentuan umum pasal 1. o, dan pasal 93 -111 mengatur tentang otonomi desa sebagai berikut:
1. Desa atau disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mangatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (Ketentuan Umum Pasal 1,o).
2. Pemerintah Desa terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Perwakila Desa.
3. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa barsama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan terhadap pemerintahan Desa.
4. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat Desa.
5. Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melaui BPD dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Bupati.
6. Kewenangan Desa Mencakup:
• Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
• Kewenangan yang oleh peraturan perundangan-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah;
• Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabuten.

Sumber pendapatan desa terdiri atas:
Pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah); bantuan dari pemerintah kabupaten (bagian dari perolehan pajak dan restribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten); bantuan dari pemerintah dan pemerintah provinsi; sumbangan dari pihak ketiga; dan pinjaman desa (pasal 107, UU Nomor 22 Tahun 1999)
Maksud Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua kewenangan di bidang pemerintahan.
Otonomi nyata maksudnya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi.
10 paradigma baru bagi perubahan tata pemerintahan daerah:
1. Struktur /konstruksi pemerintah daerah di ubah yakni kepala daerah dan perangkat desa
2. Cara pemilihan kepala daerah di ubah dengan meniadakan intervensi dari pusat. Pemilihan bupati walikota dilakukan secara paket bersama wakil daerah dan keputusan final ditangan DPRD. Kecuali pemilihan gubernur dan wakil gubernur masih diperlukan konsultasi pimpinan DPRD dengan Presiden, mengiat mereka masih merangka sebagai wakil pemerintah pusat.
3. Pengaturan tentang susunan organisasi dan pegawai daerah otonomi diserahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah.
4. Kewenangan daerah diperbesar.
5. Kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom pada kabupaten atau kota.
6. Sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang didasari kepada bentuk subsidi daerah otonom dan inpres yang diubah menjadi bentuk bagi hasil.
7. Sistem pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan kepada pemahaman represif.
8. Hubungan kepala daerah dengan birokrasi dirasionalkan.
9. Penekanan disain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi berjenis.
10. Untuk memberdayakan masyarakat adat otonomi desa yang dijamin dalam UUD 1945 dihidupkan kembali. Dalam konteks ini desa diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan susunan asli dan hak asal usul.

Hubungan legislatif dengan eksekutif menurut UU No 22 Tahun 1999:

1. DPRD bukan lagi bagian dari pemerintah daerah, DPRD menjalankan tugas legislatif sedangkan pemerintah daerah menjalankan tugas eksekutif
2. Kalau dulu DPRD mengajukan calon kepala daerah untuk dipilih satu diantaranya oleh pemerintah tanpa terikat pada hasil pemungutan suara oleh DPRD, pada masa sekarang setelah melakukan penyaringan bakal calon DPRD provinsi berkonsultasi dengan Presiden untuk menetapkan para calon gubernur, sedangkan bupati atau walikota dipilih dan ditetapkan oleh DPRD tanpa berkonsultasi cengan pemerintah pusat.
3. Pada masa lalu gubernur atau bupati atau walikota selaku wakil pusat mengawasi DPRD dan menurut UU No 22 Tahun 1999 DPRD yamg mengawasi gubernur/walikota/bupati dan berhak meminta pertanggung jawaban kepada mereka.
4. dahulu dibedakan hak DPRD dengan hak anggota DPRD pada masa UU No22 Tahun1999 hak DPRD sekaligus hak anggota DPRD

Otonomi Daerah dalam era orde baru 1965-1998

Otonomi Daerah dalam era orde baru 1965-1998



Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, merupakan koreksi dan penyesuaian baru dari UU nomor 1965 sesuai dengan pergantian Orde Lama ke Orde Baru. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir sesudah adanya pengarahan politis mengenai pemerintahan daerah dalam GBHN. Undang-undang ini lahir sebagai pelaksanaan Tap MPR No.IV Tahun 1973 dan juga di bawah rangka UUD 1945. UU Nomor 5 Tahun 1974 dinilai sangat bernuansa sentralistis dan kurang memperhatikan kedudukan DPRD sebagai badan legislatif yang berdiri sendiri.

A. Latar belakang situasi dan suasana pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah

Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan menomorduakan pembangunan politik. Pemerintahan Orde Baru dengan trilogi pembangunan pada waktu itu hendak menciptakan stabilitas nasional yang mantap.
Untuk itu diperlukan pemerintahan yang stabil dari Pusat sampai ke daerah. Selanjutnya dibuatlah berbagai undang-undang yang sentralistis, mengurangi kegiatan Partai Politik dan memandulkan peran DPR dan juga peran DPRD. Bahkan di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk dengan istilah penguasa tunggal dan menomorduakan peran DPRD dan demokrasi.
Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai menjadi 2 partai (PPP dan PDI) di samping dominasi Golkar. Pengukuhan Dwi Fungsi ABRI di segala bidang dan sektor pemerintahan termasuk di bidang legislatif dari Pusat sampai ke Daerah.

B. Asas pemerintahan yang digunakan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974

UU Nomor 5 Tahun 1974 sesuai dengan judulnya “Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah” bersifat limitatif dan dalam pemberian otonomi setengah hati dengan sebutan “buntutnya diberikan tetapi kepalanya tetap dipegang dan dikuasai sepenuhnya oleh Pusat”. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan asas bersama-sama dengan seimbang dan serasi yaitu:
- Asas Dekonsentrasi
- Asas Desentralisasi
- Asas Pembantuan
Dengan pembangunaan tiga asas ini dalam sistem pemerintahan daerah secara sekaligus, maka hal ini mengaburkan makna otonomi daerah dan dalam prakteknya, Pemerintah Pusat lebih bertitik berat pada pelaksanaan asas dekonsentrasi. Hal ini nampak jelas dalam hal:
a. kewenangan menentukan Kepala Daerah Propinsi adalah pada Presiden, dan Kepala Daerah Kabupaten/Kotamadya adalah Menteri Dalam Negeri. Peran DPRD hanya menentukan pilihan calon untuk disarankan diputuskan oleh Pemerintah.
b. Tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan tigkat desa.

C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut UU Nomor 5 Tahun 1974

1. Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam pasal 13 menyebutkan bahwa: Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 13 ayat (1)). Kedudukan DPRD lemah. Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi yang disebut Gubernur, Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang disebut Bupati/Walikota.
Dalam rangka pelaksananan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Wilayah Administratif, selanjutnya disebut Wilayah, adalah lingkungan kerja perangkat pemerintahan umum di daerah (Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan/Kota Administratif.
Dengan demikian, maka dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin badan eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif.
Rumusan dan arti pemerintah daerah, sering ditafsirkan sepihak oleh pihak eksekutif dalam melaksanakan kebijaksanaan daerah, yaitu dengan memakai istilah kebijaksanaan Pemda, yang dalam banyak hal tidak memberitahu atau mengkonsultasikan kebijaksanaan tersebut kepada DPRD.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengenal lembaga Badan Pemerintah Harian (BPH) atau Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Tapi di lain pihak menurut pasal 64 UU nomor 5 Tahun 1974, diadakan lembaga baru ialah Badan Pertimbangan Daerah yang anggotanya terdiri dari pimpinan DPRD dan unsur fraksi yang belum terwakilkan dalam pimpinan DPRD. Di samping itu ada jabatan baru yang lain, yaitu jabatan Asisten Sekretaris Wilayah/Daerah.

2. Kepala Daerah
Menurut pasal 15 UU Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/ Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Daerah DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Kemudian hasil diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang di antaranya.
Dalam diri kepala daerah terdapat 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah dan fungsi sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelengaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintahan Pusat di daerah.



D. Kewenangan Daerah Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974

1. Kewenangan Otonomi
UU Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang kewenang Daerah. Hanya disebut bahwa Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur rumah tangganya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 7). Ketentuan ini merupakan pasal karet yang sewaktu-waktu bisa ditambah dan dikurangi sesuai kehendak Pemerintah. Untuk memudahkan Pemerintah, diberlakukan prinsip: “Wewenang atau urusan yang diserahkan kepada Daerah, dapat ditarik kembali. Kewenangan yang tidak diserahkan kepada Daerah, berarti tetap wewenang Pemerintah Pusat.”
2. Tugas Pembantuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah atau pemerintahan daerah yang lebih rendah urusan tugas pembantuan dengan kewajiban mempertanggugjawabkan kepada yang menugaskannya. Adapun tata cara pemberian tugas pembantuan diatur dalam pasal 12 UU No 5 Tahun 1974 sebagai berikut:
(1) Dengan peraturan perundangan-undangan, Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada pemerintah daerah otonomi untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
(2) Dengan peraturan daerah, Pemerintah Daerah Otonom Tingkat I dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah Otonom Tingkat II untuk melaksanakan tugas pembantuan.
(3) Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam (1) dan (2) tersebut di atas, disertai dengan pembiayaannya.
3. Dekonsentrasi
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya) juga menjalankantugas dekonsentrasi.



E. Prinsip Otonomi yang Dianut UU Nomor 5 Tahun 1974
a. Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
b. Otonomi adalah hak, wewenang dan sekaligus kewajiban.

F. Keuangan Daerah Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974
Sumber pendapat Daerah
1. Pendapatan Asli Daerah sendiri yang terdiri dari:
- hasil pajak daerah
- hasil restribusi daerah
- hasil perusahaan daerah
- lain-lain usaha daerah yang sah
2. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah yang terdiri dari:
- sumbangan dari pemerintah
- sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
3. Lain-lain pendapatan yang sah.

Otonomi Daerah Dalam era Reformasi

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 yang disusul dengan UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. UU No 22 Tahun 1999 mulai berlaku 7 Mei 1999, lebih terkenal dengan nama UU Otonomi Daerah 1999, lahir sebagai pelaksanaan ketetapan MPR RI No XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan juga di bawah rangka UUD 45.
Seperti proses lahirnya beberapa UU Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, juga UU No 22 Tahun 1999 ini terkesan merupakan pergeseran pendulum dari satu ekstrim yang satu ke satu ekstrim yang lainnya, sesuai dengan kondisi politik saat itu. UU No 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran pendulum yang cukup drastis dari kondisi sentralistis kea rah desentralisasi yang lebih luas.

A. Latar belakang situasi dan suasana pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lahir dalam suasana hiruk pikuk reformasi dan menandai perubahan rezim Orde Baru.
Ditengah-tengah maraknya arus reformasi setelah tumbangnya rezim Soeharto, menuntut pelaksanaan demokrasi dari Pusat sampai Daerah. Untuk itu maka DPR dan DPRD harus berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalankan kontrol dan pengawasan terhadap pihak eksekutif.
Merealisasi tuntutan diatas, maka dibentuklah undang-undang yang intinya merombak paradigma pembangunan ekonomi kearah pembangunan yang serasi di semua bidang termasuk peran legislatif dan yudikatif.
Sistem kenegaraan yang selama orde baru bertitik berat pada peran eksekutif (executive heavy) yang dominant, kini bergeser kea rah pemberdayaan bidang legislatif secara proporsional sehingga dapat mengontrol dan mengawasi pihak eksekutif dari pusat sampai daerah.
Mengakhiri dominasi Presiden sebagai Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal itu, terutama di Daerah, dibuatlah undang-undang yang materinya membatasi kewenangan Kepala Daerah dan memantapkan kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai badan perwakilan rakyat yang memiliki kekuatan seimbang dengan Kepala Daerah atau bahkan terkesan penjungkir balikan rumusan pasal 13 UU nomor 5 Tahun 1974. ada kesan, peran legislatif lebih dominant berhadapan dengan peran eksekutif.
Kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. DPRD memilih dan menetapkan Kepala Daerah, sedangkan Presiden hanya mengesahkan sebagaimana sarana administratif. Dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah melalui persyaratan perundang-undangan.

B. Asas pemerintahan yang digunakan sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 secara formal menggunakan asas desentralisasi, dengan memperkuat fungsi DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah. DPRD mempunyai kewenangan memilih dan memberhentikan Kepala Daerah.
Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 hanya menunjuk Gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi di samping desentralisasi. Undang-undang ini juga mengatur asas pembantuan hingga pengaturan tentang Pemerintah Daerah.

C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah sesuai UU nomor 22 Tahun 1999

Sesuai isi UU nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk itu, dirumuskan:
1. Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bersifat otonomi.
2. daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU No 22 Tahun 1999)
3. daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Adapun Susunan Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:
a. Kepala Daerah Provinsi (Gubernur), Kepala Daerah Kabupaten (Bupati), Kepala Daerah Kota (Walikota), Camat, Lurah/Kepala Desa.
b. Di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan Eksekutif Daearah.
c. Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya.
d. DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah daerah.
e. Dalam menjalankan tugasnya, gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi, bupati dan walikota bertanggun jawab kepada DPRD kabupaten/kota.

D. Kewenangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di rumuskan dalam pasal 7-13 tentang kewenanga daerah dengan rinci dan intinya:
• Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lain (pasal 7 ayat 1)
Kewenangan lain sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pemberian dan pemberdayaan sunber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
• Kewenanga Pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
• Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
• Daerah tidak saja berwenang di wilayah darat, tetapi juga di wilayah laut.
• Dalam hal pelaksanaan dekonsentrasi provinsi sebagai wilayah administratif mendapat kewenangan yang ditempatkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintahan
• Tugas pembantuan pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertemtu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan mempertanggung jawabkannya kepada Pemerintah.

E. Prinsip Otonomi yang dianut UU No 22 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengganti prinsip otonomi Orde Baru dengan
1. Otonomi luas, nyata , dan bertanggung jawab
2. Penyelenggaraan otonomi memperhatikan aspek demokrasi, partisipasif, adil dan merata dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
4. Otonomi provinsi bersifat terbatas, sekaligus menjalankan fungsi dekonsentrasi

F. Ketentuan tentang keuangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999 jo UU 25 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan antara pusat dan daerah. Peraturan daerah tidak lagi memerlukan pengesahan dari pemerintah pusat.
Sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (pasal 79). Sesuai isi pasal 6 UU No 25 Tahun 1999, dana perimbangan terdiri:
1. Bagian daerah dari penerimaan PBB dan penerimaan dari sumber daya alam;
2. Dana Alokasi Umum;
3. Dana Aloasi Khusus.
Adapun pembiayaan tugas Pemerintahan Daerah dan DPRD di biayai dari dan atas beban APBD ( pasal 78 ayat1)
Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari atas beban APBN ( pasal 78 ayat 2)
Pengesahan APBD dalam bentuk Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan.

G. Hubungan pengawasan pemerintah pusat terhadapan daerah sesuai UU No 22 Tahun 1999

Berbeda dengan sistem pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah dalam Undang-undang 22 Nomor 5 Tahun 1974, yang terdiri dari pengawasan umum, preventif dan represif, maka sebagai koreksi atas sifat otonomi yang sentralistik maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, hanya mengenal pengawasan represif.
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan berupa pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Daerah yang tidak bisa menerima keputusan pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukan kepada Pemerintah.
Dari pengalaman kita mencatat bahwa ribuan peraturan daerah terpaksa ditunda atau dibatalkan karena bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal itu timbul karena semangat reformasi yang salah kaprah dan kurang memahami sistem perundangan-undangan yang sudah ada, dengan alasan demi penimgkatan pendapatan asli daerah.

H. Pengaturan Daerah

Sejak lahirnya Undang-undang Desentralisasi 1903, hingga ketika Indonesia merdeka dengan Undang-Undang Dasar 1945, mengakui esitensi desa atau dengan nama lain, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaturan otonomi daerah. Kalau pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pengaturan desa ditempatkan dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi kedua undang-undang tersebutmerupakan kondisi yang saling melengkapi sebagai pengaturan pemerintahan daerah.
Undang-undang No 22 Tahun 1999 dalam ketentuan umum pasal 1. o, dan pasal 93 -111 mengatur tentang otonomi desa sebagai berikut:
1. Desa atau disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mangatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (Ketentuan Umum Pasal 1,o).
2. Pemerintah Desa terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Perwakila Desa.
3. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa barsama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan terhadap pemerintahan Desa.
4. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat Desa.
5. Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melaui BPD dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Bupati.
6. Kewenangan Desa Mencakup:
• Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
• Kewenangan yang oleh peraturan perundangan-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah;
• Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabuten.

Sumber pendapatan desa terdiri atas:
Pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah); bantuan dari pemerintah kabupaten (bagian dari perolehan pajak dan restribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten); bantuan dari pemerintah dan pemerintah provinsi; sumbangan dari pihak ketiga; dan pinjaman desa (pasal 107, UU Nomor 22 Tahun 1999)
Maksud Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua kewenangan di bidang pemerintahan.
Otonomi nyata maksudnya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi.
10 paradigma baru bagi perubahan tata pemerintahan daerah:
1. Struktur /konstruksi pemerintah daerah di ubah yakni kepala daerah dan perangkat desa
2. Cara pemilihan kepala daerah di ubah dengan meniadakan intervensi dari pusat. Pemilihan bupati walikota dilakukan secara paket bersama wakil daerah dan keputusan final ditangan DPRD. Kecuali pemilihan gubernur dan wakil gubernur masih diperlukan konsultasi pimpinan DPRD dengan Presiden, mengiat mereka masih merangka sebagai wakil pemerintah pusat.
3. Pengaturan tentang susunan organisasi dan pegawai daerah otonomi diserahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah.
4. Kewenangan daerah diperbesar.
5. Kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom pada kabupaten atau kota.
6. Sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang didasari kepada bentuk subsidi daerah otonom dan inpres yang diubah menjadi bentuk bagi hasil.
7. Sistem pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan kepada pemahaman represif.
8. Hubungan kepala daerah dengan birokrasi dirasionalkan.
9. Penekanan disain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi berjenis.
10. Untuk memberdayakan masyarakat adat otonomi desa yang dijamin dalam UUD 1945 dihidupkan kembali. Dalam konteks ini desa diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan susunan asli dan hak asal usul.

Hubungan legislatif dengan eksekutif menurut UU No 22 Tahun 1999:

1. DPRD bukan lagi bagian dari pemerintah daerah, DPRD menjalankan tugas legislatif sedangkan pemerintah daerah menjalankan tugas eksekutif
2. Kalau dulu DPRD mengajukan calon kepala daerah untuk dipilih satu diantaranya oleh pemerintah tanpa terikat pada hasil pemungutan suara oleh DPRD, pada masa sekarang setelah melakukan penyaringan bakal calon DPRD provinsi berkonsultasi dengan Presiden untuk menetapkan para calon gubernur, sedangkan bupati atau walikota dipilih dan ditetapkan oleh DPRD tanpa berkonsultasi cengan pemerintah pusat.
3. Pada masa lalu gubernur atau bupati atau walikota selaku wakil pusat mengawasi DPRD dan menurut UU No 22 Tahun 1999 DPRD yamg mengawasi gubernur/walikota/bupati dan berhak meminta pertanggung jawaban kepada mereka.
4. dahulu dibedakan hak DPRD dengan hak anggota DPRD pada masa UU No22 Tahun1999 hak DPRD sekaligus hak anggota DPRD

Gubernur, Bupati, dan Walikota Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Gubernur, Bupati, dan Walikota Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
1. Negara sebagai suatu sistem
Dalam pelaksananan negara sebagai suatu sistem, maka kedudukan pemerintahan daerah sebagai sub sistem dan merupakan badan operasional negara yang langsung berhubungan dan berhadapan dengan warga negara.
Sejak lahirnya Negara Indonesia 17 Agustus 1945 dan sebelum itu BPUPKI atau Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia telah mencanangkan pemberian otonomi kepada daerah disesuaikan dengan khebinekaan rakyat Indonesia yang dilambangkan dengan Garuda Pancasila. Namun dalam praktek sejak tahun 1945 sampai sekarang masih banyak politikus serta ahli tata negara, yang menghendaki pengaturan Negara Kesatuan Indonesia secara sentralistik dengan alasan bahwa praktek otonomi luas berpotensi melahirkan kehendak pemisah diri dari NKRI dan alasan lainnya.
Dalam praktek ketatanegaran selama ini, otonomi daerah lebih bersifat slogan kosong dengan diikuti berbagai peraturan perundangan-undangan dengan nuansa sentralistik. Hal ini sangat menonjol dalam pemerintahan orde baru ketika seluruh gerak pembangunan nasional diatur dalam GBHN dan repelita yang dibuat oleh Bappenas.
Dalam melaksanakan pembangunan di Daerah semuanya tergantung dari kemampuan Pusat. Hal ini didukung pula oleh beberapa pimpinan Daerah hasil dari Pusat. Rumah tangga dan keuangan daerah sangat tergantung dari kebaikan pusat.

2. Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah adlah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintahan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Masing-masing badan atau lembaga menjalankan peranan sesuai dengan kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya dalam sistem pemerintahan negara Indonesia.
Kepala daerah menyelenggrakan pemerintahan didaerahnya. Adapun kepala daerah provinsi disebut gubernur, kepala daerah kabupaten disebut Bupati dan kepala daerah kota disebut walikota. Masing-masing kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah.
Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil pemerintahan didaerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali, pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan termasuk dalam pembinanan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerinyahan kabupaten dan kota.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 hubungan antara pemerintahan daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara pemerintahan daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung.

3. Hak dan Kewajiban Otonomi Daerah
Dalam menyelenggarakan otonomi daerah pemerintah daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam menyelengarakan otonomi daerah mempunyai hak:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur negara;
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak dan retribusi daerah;
f. mendapatka bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber data lainya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapat lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam perundangan-undangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi kepada daerah diberi rambu-rambu untuk mengimbangi hak seperti tersebut diatas. Rambu-rambu ini dimaksudkan untuk mengurangi akses yang timbul dalam pelaksanaan hak daerah otonom. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah mempunyai kewajiban dan hak daerah yang diatur dalam pasal 21 dan 22 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 :
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan NKRI
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
c. mengembangkan kehidupan demokrasi
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan
e. meningkatkan pelayanana dasar pendidikan
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
h. mengembangkan sistem jaminan sosial
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah
k. melestarikan lingkungan hidup
l. mengelola administrasi kependudukan
m. melestarikan nilai sosial budaya
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundangan

hak dan kewajiban daerah seperti dirumuskan di atas dimaksudkan untuk diwujudkan dalam rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk APBD yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara efesien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, dan patut pada peraturan perundang-undangan seperti yang dimaksud dalam prinsip “good governance”

4. Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Daerah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam pasal 25 dan 26 diatur tentang tugas dan wewenang kepala daerah berikut tugas wakil kepala daerah.
Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang :
1. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2. mengajukan rancangan perda;
3. menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
4. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPR untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
5. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
6. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangan-undangan; dan
7. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya sesuai dengan peraturan perundan-undangan.

(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas :
a. membatu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertical di daerah, menindaklanjuti laporan dan temuan hasil pengawasan aparat pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaran pemerintahan kabupaten atau kotabagi wakil kepala daerah provinsi;
d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan desa bagi wakil kepala daerah kabupaten atau kota;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
(3) Wakil kepala daerah mengggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
Pasal 27 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah :
(1) dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksd dalam pasal 25 dan 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban :
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan demokrasi;
e. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
f. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
i. melaksanakan dan mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan daerah;
j. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertical di daerah dan semua perangkat daerah;
k. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan rapat paripurna DPRD.
(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Demi membatasi tugas kepala daerah serta wewenangnya maka kepada mereka juga dirumuskan sederetan larangan dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 :
1. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan atau golongan masyarakat lain;
2. turut serta dalam suatu perusahaan baik milik swasta maupun milik negara atau daerah atau dalam yayasan bidang apapun;
3. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
4. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;
5. menjadi advokat atau kuasa hukum dalamsuatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam pasal 25 huruf f;
6. menyalah gunakan wewenang dan melanggar sumpah atau janji jabatan;
7. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

5. Pemberhentian Kepala Daerah
Mengingat pentingnya kepala daerah dalam menjalankan otonomi daerah disamping DPRD, maka dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur pemberhentian kepala daerah atau wakilnya. Dalam pasal 29 diatur tentang kepala daerah atau wakil kepala daerah berhenti karena :
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. diberhentikan karena:
1. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan;
3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan atau wakil kepala daerah;
4. dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah;
5. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah atau wakil kepala daerah;
6. melanggar larangan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah.

6. Kedudukan, Kewajiban : Gubernur, Bupati, dan Walikota
a. Kedudukan Gubernur
ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 37 gubernur yang karena jabatannya berkedudukan sebagai wakil pemerintahan di wailayah propinsi yang bersangkutan. Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden dan bukan kepada DPRD. Kedudukan ganda gubernur, yaitu sebagai kepala daerah otonom sekaligus kepala daerah administrasi.
Dalam kedudukan gubernur sebagai kepala daerah otonom ialah sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi dan gubernur sebagai kepala daerah otonom bertanggungjawab kepada rakyat melalui DPRD provinsi.
b. Kewajiban Gubernur
dalam kedudukan gubernur sebagai kepala wilayah administrasi maupun sebagai kepala daerah otonom mempunyai kewajiban sebagai berikut :
1. mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI
2. memegang teguh pancasila dan UUD 1945
3. menegakkan seluruh peraturan peraturan perundang-undangan
4. meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat
5. memelihara ketertiban, keamanan, dan ketentraman masyarakat
6. bersama dengan DPRD provinsi membuat perda
7. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD provinsi
sesuai dengan Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 pasal 38 gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintahan pusat memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
1. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten atau kota.
2. koordinasi penyelenggaraan urusan pemerinyahan pusat di daerah provinsi dan kabupaten atau kota.
3. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaran tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten atau kota.

c. Kedudukan dan Kewajiban Bupati
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 daerah kabupaten merupakan daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi. Kabupaten dan bupati tidak merupakan bawahan atau hubungan hiraki dengan gubernur, tetapi berada dalam hubungan koordinatif yang tidak begitu ketat seperti praktik di dunia militer. Bupati bertanggung jawab kepada rakyat pemilihan lewat DPRD Kabupaten.
Bupati dan perangkat daerahnya adalah pelaksana peraturan perundang-undangan dalam lingkup kabupaten yaitu Peraturan Daerah dan keputusan kepala daerah. Dalam arti sempit, bupati dan perangkatnya hanya tunduk dan melaksanakan kebijakan daerah yang digariskan dalam peraturan daerah. Namun dalam prakteknya karena kabupaten adalah subsitem dari negara, maka bupati dan aparatnya juga bertindak dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dibuat dpr dan pemerintah, presiden, menteri, dan gubernur.
Bupati dalam melaksanakan tugas sebagai kepala daerah otonom, mempunyai kewajiban :
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI
b. memegang teguh pancasila dan UUD 1945
c. menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan
d. meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat
e. memelihara keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat
f. bersama dengan DPRD Kabupaten membuat Peraturan Daerah
g. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten



d. Kedudukan dan Kewajiban Walikota
dalam prakteknya ketentuan otonomi yang diberikan kepada kota secara prinsip sama dengan ketentuan otonomi yang diberikan kepada kabupaten. Kota juga menikmati status daerah otonom penuh dan tidak mempunyai hubungan hirakis dengan gubernur, kecuali hubungan koordinatif sesuai ketentuan perundang-undangan.
Walikota berkedudukan sebagai kepala pemerintahan kota yang bertugas melaksanakan kebijakan daerah kota dan peraturan perundangan lain yang menjadi kewajibannya.
Walikota adalah alat daerah otonom kota yang bersama perangkatnya adalah pelaksana kebijakan aerah kota yang dibuat bersama DPRD Kota. Walikota dalam melaksanakan tugasnya mempertanggungjawabkan kepada rakyat pemilihnya lewat DPRD Kota. Sebagai catatan, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah menggariskan bahwa pemilihan gubernur, bupati, walikota yang masa jabatannya berakhir pada pertengahan 2005 dan seterusnya akan dipilih secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Walikota sebagai kepala daerah kota otonom, juga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan pengelolaan kota sesuai kebijakan yang digariskan DPRD dan walikota, diantaranya :
1. mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI
2. memegang teguh pancasila dan UUD 1945
3. menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan
4. meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat
5. memelihara ketertiban, keamanan dan ketentraman masyarakat
6. bersama dengan DPRD Kota membuat Peratura Daerah
7. memimpin penyelenggaran pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kota.

jamsostek


Jaminan sosial tenaga kerja diatur dalam Undang-undang No 3 Tahun 1993 tentang jamsostek jo PP No 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek yang dimaksud untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja terhadap resiko sosial ekonomi yang menimpa tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan baik berupa kecelakaan kerja, sakit, hari tua, maupun meninggal dunia. Dengan demikian diharapkan ketenangan kerja bagi pekerja akan terwujud, sehingga akan meningkatnya prodiktivitas.

Dewasa ini peran serta pekerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat demikian pula halnya dalam penggunaan teknologi diberbagai sektor kegiatan usaha yang dapat mengakibatkan semakin tingginya resiko yang dapat mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja sehingga dapat memberikan kontribusi positif terhadap usaha peningkatan disiplin dan produktivitas tenaga kerja.

A. Pengertian Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia[1].

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang dan pelayanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.

Hal lain yang perlu dicatat ruang lingkup jaminan sosial itu tidak terbatas pada buruh saja, melainkan juga setiap orang yang melakukan pekerjaan kepada orang lain.

B. Hakikat Jaminan Sosial Tenaga Kerja

jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam undang-undang no 3 tahun 1992 adalah merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Yang pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan kelurga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang. Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek:

  1. memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarga.
  2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja

Dengan demikian jaminan sosial tenaga kerja mendidik kemampuan bekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasih orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko kecelakaan.

C. Ruang Lingkup Jaminan Sosial Tenaga Kerja

1. Jaminan Kecelakaan Kerja

Kecelakan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, demikian pula terhadap kecelakaan kerja yang terjadi dalam perjalanan berngkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang kembali melalui jalan yang biasa dilalui. Iuran jaminan kecelakaan kerja ini sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang besarnya antara 0,24-1,74% dari upah sebulan.

Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak atas jaminan kecelakaan kerja berupa penggantian biaya berupa:

  1. Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke rumah sakit dan atau kerumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan.
  2. Biaya pemeriksaan dan atau perawatan selama di rumah sakit, termasuk rawat jalan.
  3. Biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthose) dan atau alat ganti (prothose) bagi tenaga kerja yang anggota badanya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja.

Selain penggantian biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja diberikan juga santunan berupa uang yang meliputi:

a. Santunan sementara tidak mampu bekerja.

b. Santunan cacat sebagian untuk selam-lamanya

c. Santunan cacat tota untuk salam-lamanya baik pisik maupun mental dan atau santunan kematian.

Besarnya jaminan kecelakaan kerja sebagai berikut:

  1. Santunan SementaraTidak Mampu Bekerja (STMB) 4 (empat) bulan pertama 100% x upah sebulan, 4 (empat) bulan kedua 75% x upah sebulan dan bulan seterusnya 50% x upah sebulan.
  2. Santunan cacat:

· Cacat sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) dengan besarnya % sesuai table x 60 bulan upah.

· Santunan cacat total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah santunan sekaligus besarnya 70% x 60 bulan upah, santunan berkala sebesar Rp 25 000,- selama 24 bulan.

· Santunan cacat kekurangan funsi dibayarkan sekaligus dengan besarnya santunan adalah % berkurangnya fungsi x % sesuai table x 60 bulan upah.

  1. Santunan kematian dibayarkan sekaligus dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah:

· santunan sekaligus sebesar 60% x 60 bulan upah, sekurang-kurangnya sebesar jaminan kematian

· santuna berkala sebesar Rp 25 000 selama 24 bulan

· biaya pemakaman sebesar Rp 200 000,-.

  1. Biaya pengobatan dan perawatan yang dikeluarkan berupa penggantian biaya dokter, obat, operasi, roentgen, laboratorium, perawatan puskesmas, rumah sakit umum, gigi, jasa tabib, sinshe. Seluruh biaya yang dikelurkan untuk suatu peristiwa kecelakaan tersebut dibayarkan maksimum Rp 3 000 000,-.
  2. Biaya rehabilitasi berupa penggantian biaya pembelian alat bantu dan atau alat pengganti diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang ditetapkan Pusat Rehabilitasi.
  3. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat kejadian kecelakaan ke rumah sakit diberikan penggantian biaya sebagai berikut:

· Bila hanya menggunakan jasa angkutan darat/sungai maksimum sebesar seratus ribu rupiah.

· Bila hanya menggunakan jasa angkutan laut maksimum sebesar dua ratus ribu rupiah

· Bila menggunakan jasa angkutan udara maksimum dua ratus lima puluh ribu rupiah

( Lampiran II Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1993)

Selama tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan masih belum mampu bekerja, pengusaha harus tetap membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan sampai penetapan akibat kecelakaan kerja yang dialami diterima semua pihak atau dilakukan oleh Menteri[2]. Dalam pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 ditegaskan apabila julah santunan kamatian dari jaminan kecelakaan kerja lebih kecil dari pada jaminan kematian maka yang didapatkan keluarga tenaga kerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja adalah jaminan kematian.

2. Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas jaminan kematian (pasal 12 ayat1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992). Kematian yang mendapatkan santunan adalah tenaga kerja yang meninggal dunia pada saat menjadi peserta jaminan sosial tenaga kerja.penegasan ini perlu, sebab apabila tenaga kerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, maka keluarganya berhak atas santunan akibat kecelakaan kerja, termasuk santunan kematian.

Dalam pasal 22 Peraturan Pemerintah No 14 tahun 1993 disebutkan bahwa jaminan kematian dibayar sekaligus kepada janda atau duda atau anak yang meliputi:

  1. santunan kematian sebesar satu juta rupiah.
  2. Biaya pemakaman sebesar dua ratus ribu rupiah,

Jika janda atau duda atau anak tidak ada maka jaminan kematian dibayarkan sekaligus kepada keturunan sedarah yang dari tenaga kerja, menurut garis lurus ke bawah dan garis lurus ke atas sampai dengan derajat dua.

3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Pemeliharaan dimaksud untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Jaminan ini meliputi upaya peningkatan kesehatan dan pemulihan. Iuran ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah tenaga kerja sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga dan 3% sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga.

Jaminan ini meliputi (pasal 3 ayat1 jo. Pasal 35 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 14 tahun 1993):

a. perawatan rawat jalan tingkat pertama

b. rawat jalan tingkat lanjut

c. rawat inap

d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan

e. penunjang diagnostik

f. pelayanan khusus

g. pelayanan gawat darurat

Dalam penyelanggaraan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, badan penyelenggara wajib:

a. Memberikan kartu pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta.

b. Memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan.

Pelayanan kesehatan tingkat pertama atau tingkat lanjutan memberikan surat rujukan dalam hal tenaga kerja atau suami atau istri atau anak-anak memrlukan pelayanan penunjang diagnostikatau rawat inap. Jika tenaga kerja atau keluarganya memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh pelayanan dari pelaksana pelayanan atau rumah sakit terdekat dengan menunjukan kartu perusahaan pemeliharaan kesehatan.

Program jaminan sosial tenaga kerja yang ruang lingkupnya seperti disebutkan di atas wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan yang memperkerjakan pekerja dalam suatu hubungan kerja minimal 10 orang dan atau membayar upah minimal satu juta rupiah sebulan. Ketentuan ini bersifat alternatif, bisa jadi perusahaan memperkerjakan pekerja kurang dari sepuluh orang tapi total gaji yang dibayarkan lebih dari satu juta rupiah sebulan, maka perusahaan tersebut wajib menjadi peserta jaminan sosial tenaga kerja. Sebaliknya bisa menjadi bisa terjadi total upah yang dibayarkan kurang dari satu juta rupiah sebulan tapi jumlah pekerjanya lebih dari 10 orang, perusahaan tersebut juga wajib menjadi menjadi peserta jaminan sosial tenaga kerja. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan kurungan selama-lamanya 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 50. 000. 000,- (pasal 29 ayat 1 Undang-undang No 3 tahun 1992).

Pasal 30 undang-undang ini menyebutkan bahwa tanpa mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 terhadap pengusaha, tenaga kerja dan badan penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang ini beserta peraturan pelaksananya dikenakan sanksi administratif, ganti rugi dan denda yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pelayanan khusus hanya diberikan kepada tenaga kerja berupa:

  1. kaca mata
  2. prothese mata
  3. prothese gigi
  4. alat bantu dengar
  5. prothese anggota gerak.

4. Jaminan Hari Tua

Haru tua adalah umur pada saat produktivitas tenaga kerja menurun, sehingga perlu diganti dengan tenaga kerja yang lebih muda. Termasuk dalam penggantian ini adalah jika tenaga kerja tersebut cacat tetap dan total. Pembayaran jaminan hari tua menjadi tanggung jawab bersama antara pekerja dengan pengusaha. Adanya peran serta tenaga kerja dalam pembayaran iuran jaminan hari tua ini dimaksudkan semata-mata untuk mendidik tenaga kerja agar perlunya perlindungan di hari tua. Untuk itu perlu menyisihkan sebagian penghasilan untuk menghadapi hari tua.

Jaminan hari tua dibayarkan pada saat pekerja berusia 55 tahun atau cacat total untuk selama-lamanya dapat dilakukan dengan:

  1. Secara sekaligus apabila jumlah seluruh jaminan hari tua yang harus dibayarkan kurang dari tiga juta rupiah.
  2. Secara berkala apabila seluruh jaminan hari tua yang harus dibayar mencapai tiga juta rupiah atau lebih dilakukan paling lama 5 tahun (pasal 24 ayat [2] Peraturan Pemerintah no 14 tahun 1993).

Pembayaran jaminan hari tua secara berkala sebagaimana dimaksudkan di atas harus berdasarkan atas pilihan tenaga kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun tetapi masih bekerja, dapat memilih untuk menerima pembayaran jaminan hari tuanya atau pada saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja. Demikian pula halnya dengan tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun dan tidak bekerja lagi dapat mengajukan pembayaran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara. Bagi tenaga kerja yang mengalami musibah cacat total tetap sebelum berusia 55 tahun berhak mengajukan pembayaran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara.

Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh program jaminan sosial tenaga kerja adalah jaminan hari tua. Jaminan hari tua. Jaminan hari tua ini dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau memenuhi persyaratan pension. Besarnya jaminan hari tua adalah keseluruhan iuran yang telah disetorkan beserta hasil pengembangannya.



[1] Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta. Hal 116

[2] Abdul Rachmad Budiono, SH, MH. Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta. hal 243

pendaftaran tanah

PENDAFTARAN TANAH

Pengertian
Pendaftaran tanah bertujuan untuk menyempurnakan PP 10/1961 yang diatur dalam PP 24 tahun 1997. tujuan dari pendaftaran tanah dinyatakan dalam pasal 3 PP 24 tahun 1997 adalah:
a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, ter,asuk pemerintah , agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Pengertian pendaftaran tanah terdapat dalam pasal 1 yaitu pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan suatu bidang yang terbatas.
Obyek Pendaftaran Tanah
Obyek pendaftaran tanah menurut pasal 9 meliputi:
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
b. tanah Hak Pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
e. Hak Tanggungan;
f. Tanah Negara.
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai ada yang diberikan oleh negara. Tetapi dimungkinkan juga diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Tetapi selama belum ada pengaturan mengenai tata cara pembebanannya dan disediakan formulir akta pemberiannya, untuk sementara belum akan ada Hak Guna Bangunan dan hak Pakai yang diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Maka yang kini merupakan obyek pendaftaran tanah baru Hak Guna Bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh negara. Tanah negara dalam pp 24 tahun 1997 termasuk obyek yang didaftar.
Berbeda dgn obyek-obyek pendaftaran tanah yang lain, dalam hal tanah negara pendaftarannya dilakukan dgn cara membukukan bidang tanah yang bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk tanah negara tidak disediakan buku tanah dan karenanya juga tidak diterbitkan sertipikat. Obyek pendaftaran tanah yang lain didaftar dgn membukukan dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta menerbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya.
Sistem Pendaftaran Yang Digunakan
Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak sebagai mana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. bukan sistem pendaftaran akta, hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah senagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftarkan.
Hak atas tanah, Hak Pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun didaftar dgn membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurannya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24/1997 ini. Kepentingan pemegang hak yang bersangkutan diterbitkan sertipikat sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah (pasal 31).
Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Tanah
Sesuai dengan UUPA pasal 19 pendaftaran tanah diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain. Yaitu kegiatan-kegiatan yang pemanfaatnnya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik dan pemetaan fotogrametri.
Dalam melaksanakan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP 24/1997 ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuat akta PPAT Sementara, pembuatan akta ikrar wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh notaris, pembuatan Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang, dan aju.dikasi

KEADILAN DALAM PUTUSAN BEBAS SYECH PUJI

Keadilan pada dasarnya adalah sebuah kualitas yang mungkin, tetapi bukan harus, dari sebuah tatanan sosial yang menuntun terciptanya hubungan timbal balik di antara sesama manusia. Baru setelah itu ia merupakan sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil bilamana prilakuya sesuai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya memang adil. Dalam kasus syeh puji yang menikahi Luthviana Ulfa 13 tahun, yang putusan dari pengadilan negeri Ungaran, kabupaten Semarang yang divonis bebas oleh hakim. Tetapi menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merupakan suatu ketidak adilan, menurut KPAI majelis hakim tidak peka mengenai perspektif perlindungan anak. Hal ini disebut oleh KPAI bahwa kepentingan anak tidak diperjuangkan melalui perwujudan keadilan.
Maka berdasarkan kasus tersebut kita dapat menganalisa mengenai tentang “keadilan”. Dari kasus di atas terlihat bahwa adil menurut syeh puji tetapi tidak adil menurut KPAI. Menurut Plato mengindentfikasikan kedilan dengan kebahagian. Kalau dilihat menurut Plato jika Lutviana merasa bahagia maka rasa keadilan itu sudah terlaksana. seseorang dikatakan sedang berusaha mendapatkan kebahagian bagi semua orang, selama ini ia (plato) mendefenisikan konsep kebahagian dalam makna yang paling dasar, makna sempit dari kebahagiaan individual, yang dimaknai dengan kebahagiaan manusia, yang sesuai dengan pemahamannya.
Menurut Jeremy Bntham jika keadilan adalah kebahagiaan, maka tidak akan ada tatanan sosial yang adil apabila keadilan dimaknai sebagai kebahagian individual. Tetapi tatanan sosial yang yang adil apabila keadilan dimaknai sebagai kebahagian individual. Tetapi tatanan sosial yang adil juga tidak mungkin tercipta bahkan seperti apa yang dianggap akan diwujudkannya, tidak untuk kebahagian tiap individu, tetapi kebahagiaan yang paling mungkin tercipta bagi sebanyak mungkin individu.
Plato mendukung pendapat bahwa seseorang manusia yang adil-yang artinya dalam hal ini orang yang mematuhi hukum-dan hanya oran yang adil, yang bahagia; sementara orang yang tidak adil-orang yang menodai hukuman-adalah tidak bahagia. Plato mengatakan “hidup yang paling adil adalah yang paling menyenangkan” akan tetapi Plato mengakui bahwa barangkali dalam satu kasus atau kasus lainnya orang yang adil bisa jadi tidak bahagia dan orang yang tidak adil malah bahagia.
Dalam kasus syech puji dalam melakukan perkawinan dengan anak dibawah umur merupakan suatu hal yang biasa, dikarenakan syech puji melakukannya pernikahan dengan syariat agama. Jika dikaitkan dengan norma sebagai skema penafsiran dimana yang menjadikan kejadian ini sebagai tindakan legal dan ilegal bukanlah eksitensi fisiknya, yang ditentukan oleh hukum sebab-akibat yang ada dialam, melainkan makna objektif yang muncul dari penafsiran terhadapnya. Ini jika dikaitkan dengan kasus syech puji terlihat bahwa makna subjektifnya adalah syech puji menikahi Lutviana agar tidak terjadi perzinaan. Makna objektifnya adalah tindakan ini dilarang undang-undang karena masih dibawah umur di tambah lagi dengan pernikahan dibawah tangan dan tidak tercatat di KUA. Ditarik dari kesimpulan dari norma sebagai skema penafsiran pertimbangan dari suatu tindakan prilaku manusia yang dilakukan dalam waktu dan tempat yang yakni yang legal atau tidak legal merupakan hasil dari penafsiran norma yang khusus. Norma yang memberikan makna legalitas dan ilegalitas kepada suatu tindakan itu sendiri tercipta oleh suatu tindakan yang pada gilirannya menerima karakter legalnya dari norma yang lain lagi. Ini maksudnya syech puji merasa bena karena telah sesuai dengan syariat islam tetapi legalisasi menurut hukum positif yang berlaku tidak benar.
Norma dan penciptaan norma adalah sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi, khususnya manusia seharusnya berprilaku dengan cara tertentu. Ini merupakan makna dari tindakan manusia yang satu diarahkan kepada prilaku manusia lainnya. Dalam pengertian ini tindakan yang maknanya adalah sebuah norma merupakan tindakan yang berkehendak. Jika seorang individu dengan tindakan mengungkapkan kehendak yang ditujukan pada prilaku tertentu orang lain, dengan kata lain jika dia memerintahkan, mengijinkan atau menguasakan prilaku tersebut-maka makna dari tindakannya tidak bisa dijelaskan dengan pernyataan bahwa individu lain akan berperilaku seperti itu, namun ia seharus berperilaku seperti itu. Pernikahaan untuk anak dibawah umur sekarang sudah jarang terjadi ditambah dengan adanya UU perkawinan dan UU perlindungan anak. Hal ini maka pemerintah melarang kepada setiap warganya untuk tidak menikahi anak yang masih bersekolah khususnya dalam kasus syech puji.
Jika suatu norma menetapkan bahwa prilaku tertentu “seharusnya” dilakukan, dalam arti “memerintahkan” perilaku itu, maka perilaku aktualnya boleh jadi sesuai atau tidak sesuai dengan norma tersebut. Seperti halnya dengan seyech puji dalam peraturan perkawinan dan perlindungan anak menyatakan bahwa dilarang menikahi anak dibawah umur. Hal ini membuat bahwa prilaku yang menikahi anak dibawah umur ini yang menjadi persoalan. Fakta bawa penilaian dari perbuatan menikahi anak di bawah umur berbeda-beda dari setiap individu. Khususnya sistem moral dan ide sentral dari keadilan, merupakan fenomena sosial, produk dari masyarakat, dan oleh sebab itu berbeda-beda menurut nilai-nilai itu muncul dari masyarakat. Bahwa banyak individu yang setuju bersepakat dalam hal penilaian terhadap nilai tidak membuktikan bahwa penilaian seperti itu benar, atau dikatakan sahih dalam pemahaman subjektif.